Media sosial semakin mengembangkan fungsinya. Wadah yang tadinya diperuntukan untuk memperluas jejaring pertemanan kini menjelma sebagai tempat menyebarkan berbagai macam informasi. Media massa sering menggunakannya sebagai alat penyebar konten yang mereka hasilkan.
Ada lagi yang memanfaatkan jasa media sosial sebagai rumah dari platform yang kini marak dibangun di Indonesia. Lainnya, banyak warga memanfaatkan media sosial sebagai penyebar konten buatan mereka, entah itu berupa kata-kata atau video.
Video yang dihasilkan pun seputar peristiwa di sekitar mereka seperti pewarta pada umunya. Namun beberapa hari lalu saya melihat lebih dari satu video yang menjadi perhatian pengguna media sosial Facebook. Bukan peristiwa dalam video itu yang menjadi perhatian, tapi  tulisan yang ada di bawah video itu alias caption.
Dalam caption tersebut, teman saya ini menyayangkan perekam video seorang bayi yang jatuh dari lantai dua sebuah bangunan. Sang bayi terlihat berlumuran darah dan tak berdaya. Berikut, saya akan berikan kutipan caption teman saya tadi.
"Ya Allah ngeliat rekaman ini anak kejang-kejang gak terasa mata udah ngembang. Bukannya langsung nolongin malah maen ngerekam aja Ya Rabb jauhkan hamba dari sikap yang lalai dalam mengurus dan memperhatikan anak hamba," begitu katanya.
Orang yang merekam video tersebut mungkin akan dihujat dari berbagai penjuru sebagai seorang yang tidak memiliki belas kasih. Orang ini tidak memiliki empati dan segala tetek bengeknhya. Segala yang buruk akan dijatuhkan kepada sang perekam, tentu saja akun facebook orang tersebut akan dihujani komentar dan pesan dari rekan dan orang yang tidak dikenal.
Kejadian lainnya pernah saya alami sendiri. Mentari tepat diatas kepala ketika saya mengendarai motor menuju Depok berkat arahan korlip saya untuk memberitakan seorang anak yang meninggal gantung diri di kamarnya beberapa tahun lalu. Â Korban ternyata seorang anak pembesar TNI, meninggal gantung diri karena depresi ditinggal kekasihnya.
Anak yang masih duduk di bangku SMA tersebut melilitkan kain di besi penutup jendela. Saat saya datang ke lokasi, kejadian unik pun terlihat ketika beberapa rekan-rekan diomeli lalu diusir oleh pemilik rumah. Sebagai seorang yang baru di dunia tulis menulis, saya keheranan, mengapa kedatangan pewarta ini tidak diterima dengan baik oleh keluarga? Dan bagaimana saya harus mendapat keterangan tentang peristiwa ini, karena kantor menugaskan saya?
Usut punya usut, pihak keluarga enggan membuka kasus ini ke publik lantaran malu mengingat sepak terjang keluarga besarnya yang lahir dari kalangan pembesar garda pertahanan Republik ini. Padahal seorang wartawan juga butuh mendapatkan berita secepat mungkin untuk dipublikasikan. Apakah pekerjaan sebagai pewarta maupun orang yang menyebarkan konten seperti yang saya ceritakan sebelumnya menyalahi aturan?
Sebagai masyarakat yang besar dari budaya timur, nilai moral memang amat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia sehingga tak heran jika banyak yang menyayangkan sikap yang ditunjukan oleh si perekam serta pewarta. Agaknya mereka harus menolong korban atau setidaknya bersimpati pada keluarga yang tertimpa musibah lewat jalan membantu dan tidak mengorek luka-luka tentang peristiwa tersebut.
Namun masyarakat harusnya berfikir lebih luas lagi, momen tersebut diambil untuk mngingatkan semua lapisan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat kejadian serupa menimpa sanak keluarga. Bagi pemerintah, mereka harus mengkoreksi kebijakan yang diambilnya untuk menanggulangi dua peristiwa tadi seperti membuat undang-undang terhadap orangtua yang lalai mengasuh anak atau memberikan jam belajar ekstra pada anak agar generasi penerus bangsa memilik aktifitas positif untum dilakukan.