Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika DPR Layaknya Prasasti yang Ditinggalkan Sang Raja

21 Maret 2017   21:18 Diperbarui: 21 Maret 2017   21:19 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Batu nisan tak menghalangi anak-anak berlarian di tengah kota yang tidak meninggalkan sejengkal tanah untuk mereka bermain. Penonaktifan kober itu menjadi berkah tersendiri bagi anak-anak di daerah Pasar Minggu.

Bocah laki-laki di sana memanfaatkan nisan sebagai penghalang untuk main peletokan, sedang bunga kamboja yang berjatuhan dikumpulkan untuk ditukarkan menjadi rupiah. Lalu anak perempuannya memanfaatkan nisan beserta rumah kuburan untuk bermain masakan dan boneka.

Anak remaja menyulap lahan kosong tanpa nisan yang berada di tengah pekarangan kuburan sebagai tempat bermain bola kaki, terkadang mereka bermain benteng dengan memanfaatkan pohon kamboja sebagai bentengnya. Sementara emak-emak di sudut, asyik menyuapi anak yang digendongnya sambil 'ngerumpi' atau saling mengambil kutu dari rambut ubanan milik tetangganya.

Sementara para bapak? Mereka asyik main gaple sambil ngopi dan menghisap beberapa batang rokok. Ada juga yang menikmati sensasi asrinya memotong rambut DPR (Di bawah Pohon Rindang). Tukang pangkas rambut keliling memang acap kali mengambil rezeki diatas penderitaan mayat-mayat yang tidak bisa merasakan kenikmatan dunia lagi.

DPR memang memiliki daya magis, siapapun orang yang ada di dekatnya akan merasa sejuk dan segar serta ketenangan tentusaja. Pun begitu dengan para wakil di Senayan. Anggota legislatif itu asik ngerumpi disela padatnya jadwal dibawah ac.

DPR yang kita bicarakan sekarang bukan Di bawah Pohon Rindang, tapi Dewan Perwakilan Rakyat. DPR kali ini adalah lambang supremasi negara untuk memperjuangkan aspirasi rakyat atau konstituen di wilayahnya masing-masing.

Di Bawah Pohon Rindang adalah perlambang kaum melarat yang tidak bisa merasakan salon, tapi DPR Senayan? Jangan ditanya, jasnya saja jutaan. Urusan rambut yang merupakan mahkota setiap insan akan dihargai lebih mahal dibanding cukuran kaum marjinal.

Walau menjadi kacung untuk rakyat, tapi DPR lebih kaya dibanding kaum pinggiran yang notabene adalah rajanya. Janji-janji dilontarkan kepada rakyat agar memilihnya, perjanjian politik kepada partai pengusungnya agar ditempatkan pada ujung tombak dalam kertas suara saat pemilihan merupakan jurus lain agar terpilih. Menurut kabar burung, deal itu berupa berapa banyak uang yang digelontorkan kepada partai. Karena posisi itu menentukan, bung.

Namun sebagai perwakilan sebuah negara, penampilan memang mampu mencerminkan --menyilaukan lebih tepatnya-- bangsa yang bersih, ramah, rapih dan sebagainya. Apalagi posisinya sebagai perwakilan masyarakat Indonesia, bisa jadi penilaian itu digeneralisasi oleh tamu negara yang terpesona dibuatnya.

Jadi jangan heran bila uang tunjangan anggota dewan lebih besar ketimbang kuli jalan atau wartawan yang tak kenal tanggal merah. Fasilitas mewah semisal mobil dan rumah dinas jadi bukti sahih betapa negara hadir mengayomi wakil rakyat, hanya wakilnya bukan rakyatnya.

Solopos.com
Solopos.com
Jika kebetulan Anda main ke daerah Kalibata, jangan lupa mampir ke kampus milik kelaurga cendana yang kini berganti nama menjadi Kampus Trilogi. Disana Anda akan menemukan komplek DPR dengan rumah yang naujubilah megah. Tiap malam lampu sebagian rumah padam, sebagian lagi menyala yang jelas hanya segelintir manusia mendiami fasilitas tersebut.

Pernah juga ketika sampah Jakarta tidak bisa dibuang ke TPA Bantargebang sekitar akhir tahun 2015, ada penghuni di komplek tersebut mengeluhkan bau busuk sampah kepada petugas. Petugas yang saya sudah lupa namanya menuturkan bahwa orang itu dengan nada tinggi berkeluh kesah dan nampak marah. Orang yang diduga salah satu wakil rakyat itu tak tau kondisi rakyatnya, padahal ia bisa berkoordinasi dengan pihak terkait untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini. Masih pantaskah mereka disebut wakil rakyat?

Dalam karya Tan Malaka berjudul Parlemen atau Soviet, amat jelas bagaimana pemikiran seorang pahlawan Indonesia ini tentang parlemen. Lembaga ini menurutnya tak lebih dari warung tempat orang kuat bicara. Ia juga menyebut bahwa anggota parlemen sebagai golongan tidak berguna yang harus diongkosi oleh negara dengan biaya tinggi.

Kini pemikiran tokoh bangsa yang diasingkan dari buku pelajaran sejak Orde Baru ini terlihat nyata, anggota DPR seakan gelap mata sehingga mementingkan perutnya sendiri. Segar dalam ingatan ketika Setya Novanto membuat geger publik tatkala "minta saham freeport" kemudian dia diberhentikan sebagai ketua dan kini kembali menjadi ketua DPR sekaligus memenangkan kursi Ketua Umum Golkar.

Setnov bersama beberapa "orang kuat" DPR tersandung kasus E-KTP dan katanya tak seberapa dibanding kasus yang akan dibuka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walau mereka sampai saat ini belum dimasukan ke dalam bui, tetapi peraturan paling tinggi bukankah etika di masyarakat? Masih tepatkah mereka menjadi wakil kita sebagai "penyambut tamu" negara-negara sahabat?

Mungkin ini juga yang membawa William Blum dalam bukunya berjudul America’s Deadliest Export Democracy mengatakan bahwa ekspor Amerika yang paling mematikan adalah demokrasi. Namun kebebasan dalam sistem ini juga diidamkan oleh tokoh nasional kita B.J Habibie, ia yakin bahtera bernama Indonesia akan lebih maju jika dibukanya keran kebebasan.

Kebebasan dengan sendirinya membuat masyarakat terus mencari, mempelajari, dan melakukan sebuah pembaruan. Selanjutnya negeri ini akan kelahiran pemimpin-pemimpin hebat lewat gayanya masing-masing, terbukti lahirlah sosok Kang  Emil, Mas Jokowi, Dedi Mulyadi, Tri Risma, Basuki J.P, dan lainnya.

Namun, politikus seperti mereka hanya segelintir di negeri ini, rakyat mencari jalan keluar untuk menyarakan aspirasinya. Ranah paling tepat untuk bersuara adalah dunia maya melalui bantuan internet.

LensaRemaja.com
LensaRemaja.com
Dibandingkan dengan model media massa lainnya, internet memiliki banyak kelebihan mulai dari mudahnya akses, perangkat pendukung, serta murahnya biaya yang dibutuhkan. Efeknya jelas lebih hebat, dalam sekejap sebuah informasi mampu diterima oleh masyarakat tanpa batasan jarak dan waktu.

Media sosial menjadi ranah cukup tepat bagi masyarakat karena disana belum ada norma-norma kuat untuk mengkontrol kegiatan warga. Memang ada Undang-Undang khusus membahas masalah ini, tapi apa sanggup negara dengan sedikit anak mudanya di pemerintahan maupun parlemen mengkontrol lini masa "yang bukan zamannya". Aparat? Alah web pemerintah saja bisa diretas oleh rakyat.

Wadah pendukung semisal Blog pribadi, facebook, twitter blog sosial, saluran Youtube, dan "portal hantu" menjadi senjata masyarakat. Dengan kekuatan mereka, warga bisa secara langsung berkeluh kesah tentang keseharian maupun kejadian di sekitarnya yang tidak tertangkap pantauan wartawan dan pemerintah.

Kini media sosial menjadi salah satu acuan media untuk membentuk isu dan membuat sebuah berita. Contohnya, aksi gantung diri seorang pria bernama Indra tempo hari disiarkan secara langsung di akun Facebook miliknya. Aksi tersebut langsung diperbincangkan oleh netizen dan diangkat menjadi sebuah berita.

Blog kroyokan seperti Kompasiana juga memiliki kekuatan. Para penulisnya banyak membuat laporan dari berbagai wilayah karena tak terpantau oleh pemerintah dan media, lalu tulisan itu tersebar di lini masa sehingga beberapa pemangku kebijakan atau otoritas terkait membacanya lalu memproses laporan tersebut.

Beberapa warga kadang melaporkan pengalamannya tentang sebuah fenomena, pengalaman itu diunggah ke dunia maya sehingga warga lain yang membaca paham bagaimana keadaan dan cara penanggulangan jika sewaktu-waktu mereka menerima kenyataan yang sama.  Begitulah organisme ini bekerja dengan amat baik.

Warga telah melek terhadap teknologi, perkataan BJ Habibie tentang pentingnya sebuah kebebasan untuk Indonesia terbukti. Warga kini punya saluran baru untuk bersuara tanpa harus melewati proses berbelit di DPR, atau bahkan tak pernah terpantau mata para wakinya.

Kemunculan portal-portal media abal yang saya sebut sebagai "portal hantu" menjadi kenyataan lainnya. Media ini amat masif membuat informasi hoax. Saya tidak berani menyebutkan berita karena informasinya ngawur dan melenceng jauh dari kaidah sebuah berita.

Redaksionalnya pun tidak jelas, struktur organisasi dan alamatnya kadang tidak ada. Namun banyak warga mempercayai informasi dari media-media tersebut dan mereka yang kelewat keblinger ini menyebarkannya di lini masa, sekan setan yang mengajak manusia kedalam neraka.

Mereka hidup dengan memanfaatkan kebencian masyarakat terhadap satu tokoh. Warga dengan pemahaman yang sama pasti senang membaca artikel tersebut dan menyebarkannya ke lini masa.

Blognyakrisniy - WordPress.com
Blognyakrisniy - WordPress.com
Ada lagi model media yang menggunakan judul bombastis untuk menarik pembaca. Lagi-lagi pengguna sosial media banyak mempercayai berita tersebut tanpa membaca isinya.

Inilah realita penggunaan kebebasan oleh masyarakat, mereka kreatif membuat konten mengerikan untuk menjatuhkan satu pihak. Dengan sendirinya artikel tersebut disebarkan oleh mereka yang mempercayai, informasi semakin mudah diterima masyarakat khusnya para pengguna media sosial, karena disanalah palagan baru itu hadir.

Lewat konten yang menyesatkan, semakin banyak kebencian dalam media sosial. Kebencian itu makin nyata ketika melihat polah tingkah para elite politik yang menyuarakan ketidak sukaan terhadap golongan tertentu dan mensuport golongan lain dengan kesamaan pahamnya walaupun secara tersirat, pandangan itu memiliki banyak kepentingan.

Kini kita harus bangga melihat kenyataan bahwa masyarakat semakin kreatif memaknai kebebasan. Indonesia harus bangga melihat warganya amat ingin tahu dan perhatian pada negara. Kini tinggal menunggu andil pemerintah untuk membenahi informasi dan memberangus hoax karena semua ini terjadi karena tidak adanya campur tangan pemerintah termasuk DPR.

DPR seakan tak memiliki kepercayaan dan mulai ditinggalkan para raja, seperti bangunan berpenghuni tapi tak dirawat akhirnya terbengkalai dan roboh layaknya nisan yang dijadikan tempat bermain para bocah Pasar Minggu. Mayat didalamnya tidak bisa melakukan apapun melihat rumahnya dipermainkan. Layaknya Situs Kerajaan Majapahit di Trowulan yang menjadi simbol supremasi kerajaan tersebut. Kebebasan membawa masyarakat membuat jalannya sendiri untuk bersuara, seperti cita-cita Habibie yang ingin melihat majunya SDM dalam negeri.

Selamanya kebebasan akan bersinggungan dengan kepentingan masyarakat-pemerintah, kepentingan kelompok-pribadi, kepentingan internasional-nasional akan terus berlanjut. Sekarang tinggal kita dengan kecerdasan serta keterampilan yang harus memilah dan memilih neraka atau surga, tempat terakhir untuk bahtera bernama Indonesia.

"Hidup adalah sebuah pertarungan panjang melawan negara,  imajinasi kolektif secara berangsur telah berkonspirasi untuk secara terampil menentang segala sesuatu yang menyimbolkan otoritas publik" Larry Diamond, Masyarakat Madani, hlm. 310

KA Bogor - Palmerah
Jakarta, 20 Maret 2017
(D.A)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun