Pernah juga ketika sampah Jakarta tidak bisa dibuang ke TPA Bantargebang sekitar akhir tahun 2015, ada penghuni di komplek tersebut mengeluhkan bau busuk sampah kepada petugas. Petugas yang saya sudah lupa namanya menuturkan bahwa orang itu dengan nada tinggi berkeluh kesah dan nampak marah. Orang yang diduga salah satu wakil rakyat itu tak tau kondisi rakyatnya, padahal ia bisa berkoordinasi dengan pihak terkait untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini. Masih pantaskah mereka disebut wakil rakyat?
Dalam karya Tan Malaka berjudul Parlemen atau Soviet, amat jelas bagaimana pemikiran seorang pahlawan Indonesia ini tentang parlemen. Lembaga ini menurutnya tak lebih dari warung tempat orang kuat bicara. Ia juga menyebut bahwa anggota parlemen sebagai golongan tidak berguna yang harus diongkosi oleh negara dengan biaya tinggi.
Kini pemikiran tokoh bangsa yang diasingkan dari buku pelajaran sejak Orde Baru ini terlihat nyata, anggota DPR seakan gelap mata sehingga mementingkan perutnya sendiri. Segar dalam ingatan ketika Setya Novanto membuat geger publik tatkala "minta saham freeport" kemudian dia diberhentikan sebagai ketua dan kini kembali menjadi ketua DPR sekaligus memenangkan kursi Ketua Umum Golkar.
Setnov bersama beberapa "orang kuat" DPR tersandung kasus E-KTP dan katanya tak seberapa dibanding kasus yang akan dibuka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walau mereka sampai saat ini belum dimasukan ke dalam bui, tetapi peraturan paling tinggi bukankah etika di masyarakat? Masih tepatkah mereka menjadi wakil kita sebagai "penyambut tamu" negara-negara sahabat?
Mungkin ini juga yang membawa William Blum dalam bukunya berjudul America’s Deadliest Export Democracy mengatakan bahwa ekspor Amerika yang paling mematikan adalah demokrasi. Namun kebebasan dalam sistem ini juga diidamkan oleh tokoh nasional kita B.J Habibie, ia yakin bahtera bernama Indonesia akan lebih maju jika dibukanya keran kebebasan.
Kebebasan dengan sendirinya membuat masyarakat terus mencari, mempelajari, dan melakukan sebuah pembaruan. Selanjutnya negeri ini akan kelahiran pemimpin-pemimpin hebat lewat gayanya masing-masing, terbukti lahirlah sosok Kang  Emil, Mas Jokowi, Dedi Mulyadi, Tri Risma, Basuki J.P, dan lainnya.
Namun, politikus seperti mereka hanya segelintir di negeri ini, rakyat mencari jalan keluar untuk menyarakan aspirasinya. Ranah paling tepat untuk bersuara adalah dunia maya melalui bantuan internet.
Media sosial menjadi ranah cukup tepat bagi masyarakat karena disana belum ada norma-norma kuat untuk mengkontrol kegiatan warga. Memang ada Undang-Undang khusus membahas masalah ini, tapi apa sanggup negara dengan sedikit anak mudanya di pemerintahan maupun parlemen mengkontrol lini masa "yang bukan zamannya". Aparat? Alah web pemerintah saja bisa diretas oleh rakyat.
Wadah pendukung semisal Blog pribadi, facebook, twitter blog sosial, saluran Youtube, dan "portal hantu" menjadi senjata masyarakat. Dengan kekuatan mereka, warga bisa secara langsung berkeluh kesah tentang keseharian maupun kejadian di sekitarnya yang tidak tertangkap pantauan wartawan dan pemerintah.
Kini media sosial menjadi salah satu acuan media untuk membentuk isu dan membuat sebuah berita. Contohnya, aksi gantung diri seorang pria bernama Indra tempo hari disiarkan secara langsung di akun Facebook miliknya. Aksi tersebut langsung diperbincangkan oleh netizen dan diangkat menjadi sebuah berita.