Perempuan mana yang tak kenal dan menggilai sosok Rio Harianto, pria ini menjadi perbincangan lewat penampilannya di ajang balapan F1 bersama Manor Racing serta paras rupawan. Sehingga menasbihkannya sebagai salah satu Raja bagi kaum hawa.
Masih seputar olahraga, mari arahkan pandangan kita ke cabang bulu tangkis, sebuah olahraga yang selalu mengharumkan nama Indonesia berkat torehan prestasi para atletnya. Tak terhitung gelontoran gelar bergengsi mendarat di pelukan Ibu pertiwi berkat beberapa sosok semisal Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, atau Alan Budikusuma.
Nama-nama yang telah terpampang diatas mampu mengibarkan Sang Saka Merah Putih di hadapan Internasional. Mereka adalah contoh anak-anak peranakan Tiongkok-Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa.
Semua cerita indah itu kini sirna berkat kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kala ia dikatakan menista agama. Seperti kata pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga” persoalan ini menjadi bola salju terus bergulir dan memasuki daerah SARA.
Semua golongan Ahok – mereka yang beretnis sama atau memiliki ciri fisik serupa – dikatakan kafir serta umpatan-umpatan lain yang membuat panas telinga seperti kutil babi. Kini prasangka buruk terhadap peranakan Tiogkok semakin nyata terlihat. Para pembencinya blak-blakan mengutarakan kebenciannya terhadap etnik ini, karena sebelum kasusu ini geger sebagian masyarakat membenci tingkah laku anak keturunan etnik Tionghoa karena masalah ekonomi.
Ekonomi memang masalah serius dalam hubungan sosial di masyarakat, kecemburuan sosial serta tindak kriminal sering dilatar belakangi masalahtersebut. banyak dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dimiliki oleh peranakan Tionghoa sehingga menghasilkan kecemburuan sosial di masyarkat.
Sifat etnis ini yang tidak bisa berbasa basi, fokus dalam satu kerjaan, dan diimbangi kemampuan managerial mempuni menjadi kunci bagaimana mereka mampu bersaing memperebutkan pos-pos strategis di dunia kerja ditengah meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat pribumi. Melihat fenomena tersebut, karyawan yang mayoritasnya pribumi merasa “terjajah” oleh para pendatang ini. Lalu kasus Ahok menjadi lonceng tepat untuk menumpahkan segala kebencian tersebut dibarengi detik-detik riuhnya Pemilu, persoalan ini menjadi paket komplit seyara martabak dengan dua telur bebek.
Seperti salah satu judul lagu Band Geisha Cinta dan Benci, itulah situasi yang melanda keturunan Tiongkok di Indoensia. Dalam ilmu sosial, kelompok seperti ini biasa disebut “minoritas perantara (middleman minority)” yang pertama kali dipopulerkan oleh sosiolog AS, Howard P. Backer tahun 1940.
Ditengah masyarakat multietnis, ada kelompok dengan status perantara antara kelompok dominan dan subordinat. Kelompok perantara tersebut melakukan tugas yang bersinggungan pada ranah ekonomis dan dianggap kurang bermartabat bagi kelompok elit. Sehubungan dengan posisi ekonominya, kelompok minoritas perantara rentang terhadap permusuhan dari luar kelompoknya dan tak jarang mereka menjadi kambing hitam. Demi mendapat rasa aman, kelompok ini akan meminta perlindungan kepada kelompok dominan.
Sebelum eranya fatwa MUI menjadi yang paling penting dan patut dibela, Pangeran Diponegoro ialah seorang pionir “kriminalisasi” bagi mereka yang berkulit kuning langsat. Bahkan dalam Babad Diponegoro orang Tiongkok adalah target dari perang suci.
Saya yang akan mempertahankan [mereka] dalam perang
[dan] para ulama [akan memberi] semangat sebagai pendeta
Untuk membinasakan Belanda dan Cina
Yang tinggal di tanah Jawa
Apabila mereka tidak menganut agama
Paduka Nabi Sinelir
Perang suci ini terjadi berkat gesekan antara pribumi (orang Jawa) dengan para meneer serta warga Tionghoa maupun para peranakannya di Hindia Belanda. Orang Tionghoa yang kebanyakan bekerja sebagai penjaga gerbang tol semakin menjadi dalam mengambil pajak para pedagang. Semua ini merupakan buntut dari persaingan mereka mendapatkan lahan garapan gerbang tol untuk mengeruk keuntungan bagi modal hidup di tanah harapan. Pemerintah kolonial dan daerah juga menginginkan kenaikan pendapatan mereka.
Pekerjaan sebagai penjaga bandar Tol merupakan gawe paling nista untuk kaum ningrat, mereka harus memeras keringat pribumi demi menebalkan kas kerajaan maupun kesultanan dan pemerintah kolonial waktu itu. Dengan “efisiensi” ala Tiongkok, kas pemerintahan saat itu terus melambung, namun rasio gesekan dan penindasan pribumi semakin meningkat.
Lewat serangkaian penyerangan tersebut, ada beberapa cerita unik tentang perang suci versi Pangeran Diponegoro seperti yang terjadi pada komonitas Tionghoa di Bagelan. Mereka berhasil bertahan ditengah gencarnya serangan, namun pada tahun 1827 akhirnya mereka diungsikan ke daerah Wonosobo. Tetapi warga disana meminta komunitas ini untuk kembali karena keterampilan ekonomi yang dimiliki komunitas tersebut yang disokong lewat pembuatan kerajinan.
Para peranakan Tiongkok yang kini masih bertahan di Indonesia menghadapi situasi yang hampir sama. Gerakan anti Tingkok semakin berkobar, situasi Indonesia walau terlihat adem ayem namun rentan bagai telur diujung tanduk— salah langkah sedikit akan ambruk, perpecahan tak terindahkan— genosida mungkin saja terjadi lagi seperti tahun-tahun kebelakang.
Padahal Tiongkok merupakan satu diantara sederet negara yang sudi menggelontorkan dana investasi sedemikian besar kepada kas negara. Seperti yang dilansir dari Antaranews, Negara Tirai Bambu tersebut menjadi investor terbesar ketiga untuk Indonesia yakni 1,6 miliar dolar AS.
Apalagi jika ditengok ke zaman perang dingin mulai sedikit banyak mempengaruhi arah pembangunan Indoensia, saat itu para penganut paham komunis mulai pecah kongsi dengan komunis Rusia. Saat itu Indonesai dekat dengan Tiongkok dan berkat kemesraan itu kita dijanjikan menerima bantuan senjata untuk angkatan kelima, beranggotakan buruh dan petani yang dipersenjatai.
Zaman berubah namun nasib peranakaan Tionghoa tetap begitu-gitu aja menjadi sasaran empuk para demonstran seperti dalam tragedi 1998 dimana kelenteng dibakar, penjarahan di toko-toko (terlebih penjualnya bermata sipit), kekerasan terhadap orang yang diindikasikan keturunan Tiongkok padahal ekonomi Indonesia saat itu amat dimanjakan dengan para pengusaha keturunan Tiongkok. Seperti yang sebelumnya telah disebutkan, posisi sebagai “minoritas perantara”membuat mereka serba salah, satu sisi dimusihi namun disisi lain dicintai.
Berkaca pada catatan sejarah tersebut, walaupun mencoba mendekatkan diri dengan pribumi sejak sebelum VOC datang ke Indonesia lewat jalur perdagangan, pernikahan dengan penduduk pribumi, memeluk Agama mayoritas yaitu Islam, melakukan akulturasi budaya, dan mendekatkan diri pada penguasa membuat anak-anak keturunan Tiongkok ini seperti kata Raisa, serba salah.
Saatnya pemerintah melakukan berbagai kebijakan untuk mencoba membuka slot-slot di pemerintahan bagi semua anak keturunan bangsa lain terutama Tiongkok agar mereka tidak menyatu dalam bidang ekonomi. Ekonomi merupakan masalah paling cepat untuk memicu gesekan-gesekan didalam tatanan masyarakat yang terbuka. Negara harus andil dalam membudayakan selogan Bhineka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa, karena semakin kesini iklim tenggang rasa antar golongan semakin rapuh, contohnya dengan pembuatan parade di setiap hari kebesaran agama lain dan menggalakan pelajaran nasionalisme dalam mata pelajaran kewarganegaraan.
Menggalakan karnaval budaya juga amat penting untuk membuka kesadaran masyarakat bahwa negara ini tidak dibuat untuk suku bangsa tersebut, bangsa ini dibentuk sebagai wadah perjuangan masyarakat Indonesia yang berbeda suku bangsa, warna kulit, bahasa daerah, dan agama. itulah mengapa Pancasila dibentuk sebagai pedoman kita sebagai kesatuan mencoba membawa bahtera ini menuju tanah tanpa penindasan seperti impian Bung Karno.
Jika situasi ini terus berkembang bagaimana bisa kita warga pribumi masih bersekongkol dengan masa lalu untuk memerangi kaum minoritas, padahal dia punya kerjaan yang memberikan manfaat untuk kemajuan bangsa? Mulailah berfikir luas untuk mengambil etos kerja mereka dan jauhi sifat buruknya karena kejelekan tersebut pasti ada pada diri setiap insan.
Daripada kita dibuat limbung dengan situasi Indonesia, lebih baik kita mendengarkan bagian reff lagu Gesha, Cinta dan Benci.
Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa
Membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu
Sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa
Memisahkan segala cinta dan benci yang ku rasa
Maaf jika tulisan ini teramat panjang karena masalah sosial tak bisa diselesaikan dengan satu atau dua buah buku. Tak lupa saya ingatkan untuk kita menyegarkan pikiran dengan video 3GP buatan Tiongkok yang sedap betul dinikmati sambil meluk guling...
"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," Pram.
D.A
Jakarta 03 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H