Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesurupan dan Pesugihan, Kebudayaan Penohok Logika Modern

12 Januari 2017   19:31 Diperbarui: 12 Januari 2017   20:02 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pemujaan di Candi Prambanan (Dokumentasi Pribadi)

 Begitu kentalnya aroma mistis di pasar setan Gunung Lawu, banyak sekali kepercayaan yang dipegang teguh oleh para pendaki sebelum menaiki salah satu gunung yang penuh dengan arkeologi prasejarah ini seperti pantangan mengenakan pakaian berwarna hijau, tidak mendaki jika jumlah kelompok ganjil, dan melemparkan koin logam di areal pasar setan. Setidaknya tiga itulah budaya pendakian di Gunung Lawu dan banyak pendaki masih mempercayainya. 

 Ada satu kebudayaan yang kini tergerus akibat dampak pendidikan modern ala barat yaitu kebudayaan angguk yang berkembang di desa garongan yang terletak di Pantai Selatan Yogyakarta. Kesenian ini memadukan unsur Agama Islam, Agama Hindu, dan animisme. 

 Semua ini terlihat dari kitab yang dibawakan yaitu Tolodo bertuliskan bahasa arab dan memuat kisah-kisah berzanji. Namun dalam kesenian ini juga digunakan sesajen dan dupa seperti dalam agama hindu lalu para pemainnya juga percaya akan adanya roh serta jimat-jimat yang dipakai dalam mendatangkan makhluk astral tersebut kedalam tubuh pemain. 

 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Soetaryo tahun 1979, kesenian ini dilakukan pada malam hari biasanya dipentaskan dihalaman terbuka seperti pendopo rumah. Kesenian ini bersifat terbuka untuk umum dan tidak membedakan kelas, semua penonton berbaur di satu tempat dan mengobrol sesuka hati. Karena sifatnya tidak komersil, para pemain kesenian angguk desa garongan tidak mematok tarif tertentu. 

 Tidak sembarang pemain bisa kerasukan, hanya orang-orang dengan ikatan tertentu mampu merasakan sensasi kesurupan. Masih dari penelitan yang sama, Soetaryo menjabarkan bagaimana cara para pemain kesenian garongan kerasukan roh halus. 

 Bagi mereka yang percaya, peristiwa kerasukan ini diakibatkan oleh arwah leluhur yang bersemayam di daerah Bagelen, yaitu  Nyai Bagelen. Pemain kesenian Angguk Desa Garongan harus menyiapkan diri dengan syarat yang diutarakan oleh kuncen makam tersebut. 

 Biasanya syarat tersebut berupa puasa, baik puasa mutih atau puasa di hari kelahiran (Jawa). Puasa ini dilakukan untuk menyucikan diri, orang itu hanya boleh makan dan meminum yang tawan. Selanjutnya adalah puasa ngebleng atau puasa 40 hari penuh. Puasa ini amat berat sehingga tidak sembarang orang bisa melakukannya. 

 Hubungan kedua puasa tersebut bisa diartikan sebagai pembentukan calon wadah kesurupan tersebut. Walau puasa mutih sudah dilakukan dan bertujuan untuk mensucikan diri, namun tubuh tersebut belum bisa dijadikan wadah bagi roh halus untuk itu dilakukan puasa selama 40 hari. 

 Jika kedua syarat tadi telah berhasil dilewati, tahap selanjutnya adalah mandi kembang. Kembang yang digunakan bukan kembang sembarangan, kembang tersebut harus pemberian kuncen makam diambil dari makam bagelen dan telah dibacakan mantra-mantra. Selain itu calon wadah roh halus tersebut akan diberikan 'jimat' atau benda yang menurut juru kunci sesuai dengan orang tersebut.

 Selanjutnya adalah penerimaan roh suci, penerimaan roh suci dalam tubuh calon wadahnya ada dua cara secara langsung maupun tidak. Secara langsung yaitu diberikan oleh juru kunci macam sedangkan tidak langsung melalui warisan atau pemberian seorang pemain kesenian Angguk kepada calon wadah baru. Selanjutnya, roh tersebut harus dipelihara yaitu dengan melakukan puasa di hari dimana sang pemain mendapat benda dari juru kunci makam dan memberikan sesajen kepada roh suci. 

 Sebagai manusia modern yang dicekoki ilmu yang matrealistis kita sulit mempercayai kebudayaan-kebudayaan serta kebiasaan para leluhur kita dalam melakukan berbagai ritual dan kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun