Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Auman dan Keganasan Rimba Linggarjati

27 November 2016   05:11 Diperbarui: 27 November 2016   10:00 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua tahun lalu kegagahan Gunung Cireme telah merasuk ke dalam hati. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan waktu itu. Buih cinta itu timbul lantaran melihat kegagahan Gunung Cireme dari kakinya, setelah saya melewatinya sepulang pendakian Gunung Cikurai.

Namun, kesempatan mencumbuinya tak juga datang. Baru kemarin, tanggal 18 Oktober 2016 akhirnya waktu mempertemukan kami berdua.

Cerita pendakian Gn Cireme dimulai kala bus mengantarkan saya dan ketiga rekan dari Terminal Kampung Rambutan. Awalnya kami berniat lewat jalur palutungan untuk mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat tersebut. Nampaknya takdir menginginkan kami lewat track terberat saat mendaki Mt. Cireme yaitu Linggarjati.

Semua ini terjadi akibat bus yang kami tumpangi menurunkan kami di persimpangan jalan TOL yang entah apa namanya. Dengan berat hati kami mencari bus yang mengarah ke palutungan lainnya, sedikit harapan kami untuk menemukan bus dengan tujuan tersebut, karena waktu menunjukan pukul 02.00 WIB.

Kami memutuskan untuk menunggu bis di tempat kami di telantarkan. Akhirnya penantian selama 30 menit berujung manis, sebuah bus melintas dan katanya melewati jalur pendakian via palutungan. Kami berempat lega mendapati kenyataan ini.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Sial, begitulah satu kata yang saya ucapkan pertama kali. Kami kembali dihadapkan oleh kenyataan lain. Ternyata bus yang kami tumpangi tidak sampai jalur pendakian Cireme via palutungan. Namun bus tersebut menurunkan kami persis di depan jalan Linggarjati, jalan menuju mendaki lewat Linggarjati.

Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk lewat jalur linggarjati menuju puncak Cireme. Persoalan tak kunjung henti, kali ini kami harus bersabar dengan angkutan yang akan membawa kami sampai ke basecamp pendakian Gn. Cireme via Linggarjati.

Satu dua penjaja ojek motor menghampiri kami, tapi mereka menawarkan jasa dengan harga yang fantastis yaitu Rp.100.000 untuk sekali angkut menuju basecamp! Akhirnya ada seorang tukang ojek dengan motor maticnya menghampiri kami, dia menawarkan jasa sekali angkut Rp.15.000 per orang. Akhirnya kami menerimanya, karena ini adalah harga wajar untuk sekali angkut menuju base camp Linggarjati.

Karena hari masih pagi buta dan penjaga base camp tidak ada, kami menumpang istirahat di pos tim penyelamat Linggarjati yang tak jauh dari base camp. Obrolan berlangsung, dan pada satu titik saya merasa ditipu oleh petugas bus yang kami tumpangi.

Menurut salah seorang anggota tim penyelamat, harga bus berkisar Rp 60.000 dari Jakarta hingga depan jalan Linggarjati. Naasnya kami membayar Rp 80.000 dari Terminal Kampung Rambutan hingga persimpangan jalan tol, sesuai dengan informasi yang ada di blog pribadi milik para pendaki pendaki.

Apesnya lagi, kami memberikan uang Rp 20.000 dari persimpangan tersebut menuju jalan Linggarjati. Padahal, wajarnya ongkos yang diberikan berkisar Rp 10.000.

Tapi persoalan itu saya abaikan. Mungkin benar kata orang, cinta itu buta, walau merasa ditipu, saya tetap bahagia karena sedikit lagi rasa penasaran saya terhadap gunung yang satu ini terobati. Kami pun terlelap, pendakian pun di mulai pukul 08.00 WIB.

Dimulai dengan mengurusi berkas di base camp untuk data pendaki serta membayar biaya Simaksi seharga Rp 50.000 untuk satu orang, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju warung. Di sana kami santap pagi dan memulai pendakian, tanpa melupakan memanjatkan doa kepada yang Kuasa terlebih dahulu guna kelancaran dan keselamatan kami.

Perlahan namun pasti, kami menyusuri perumahan warga menuju pos 1. Tak disangka, ujian track yang melelahkan sudah dimulai. Walau jalanan masih aspal, namun kontur jalan yang berupa tanjakan serta turunan curam harus kami lewati.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Sampai di pos satu kami beristirahat dan mengisi botol air yang kosong. Pos satu merupakan tempat yang paling pas untuk mengisi air, karena air mudah didapat. Sebenarnya ada satu pos lagi yang terdapat mata air, namun letaknya jauh dari jalur pendakian dan amat riskan karena sudah masuk dalam hutan belantara dengan satwa buas di dalamnya.

Berbeda dengan pos lainnya, pos satu memiliki bangunan tersendiri. Kelebihan ini dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak sebelum memasuki keganasan alam di Gn. Cireme.

Setelah pengisian air dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian ke pos 2. Selama perjalanan menuju pos 2, hanya pohon dan suara alam yang akan ditemui. Tracknya tak seganas perjalanan ke pos satu. Pos dua menuju pos tiga juga begitu, kekejaman track Gunung Cireme belum terasa.

Di pos 3 kami istirahat sejenak sambil menyeduh kopi yang ditemani biskuit dan beberapa batang rokok. Nyanyian alam yang dikeluarkan dari suara Owa yang bersautan serta jangkrik dan deru angin menambah syahdu pagi hari itu.

Saat beristirahat, tiba-tiba hujan turun, kami panik bukan kepalang karena kami tak mempersiapkan pakaian hujan atau terpal untuk menutupi kami. Akhirnya mengingat hujan yang masih rintik, kami bergegas merapikan kompor beserta alat masaknya agar bergegas melanjutkan perjalanan. Kami memutuskan tidak membuka jas hujan, keputusan ini diambil karena kabut yang menutupi.

Apa hubungannya kabut dengan hujan? Entahlah, tapi menurut pengalaman kami mendaki gunung, tebalnya kabut mengandung titik air. Kabut memiliki kontur seperti awan dan lama kelamaan akan mengeluarkan air sehingga tiap pagi kita melihat fenomena embun di daun. Dari hal tersebut kami berkesimpulan bahwa hujan ini hanya lewat, ternyata pengamatan kami benar.

Semakin dalam menyusuri hutan, suara-suara satwa semakin liar terdengar. Suara babi hutan, burung elang, jangkrik, owa, serta hewan lain yang saya tak kenali suaranya benar-benar membuat kami senang karena inilah yang kami cari, suasana alam yang jauh dari bising mesin dan polusi amat langka bagi penduduk Jakarta.

Semakin dalam kami mengikuti jalur, ternyata track pendakian Gn. Ciremai via Linggarjati banyak berubah. Kesimpulan ini kami ambil melihat banyaknya pohon yang ditumbangkan serta tanah yang masih bersih dari sampah para pendaki yang tidak memperdulikan kealamian ekosistem.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Akibat takut tersesat, kami melihat screenshoot mengenai pos pendakian Gn.Ciremai via Linggarjati. Kami kaget akibat banyak sekali pos yang tidak ada.

Akhirnya kami terus mengikuti penunjuk jalan di tiap persiapan yang cukup banyak menuju puncak. Kami dihapkan dengan persoalan baru, track pendakian semakin memutar dan cerita melegenda soal track Gn. Ciremai via Linggarjati yang yahud buat para 'penggila track' mulai terasa. Track khas gunung di wilayah Jawa Barat terdiri dari tanah, pohon tumbang, akar, dan terkadang batu terus menemani perjalanan kami namun dengan kecadasan yang makin meningkat.

Di kerapatan pohon-pohon besar Gn. Ciremai, salah satu rekan saya bernama Dadin memberikan kode kepada saya, yang berada paling belakang dan terpaut jarak cukup jauh dari rekan lainnya. Jari telunjuknya menunjuk kearah hutan bagian dalam. Rekan lainnya bernama Tole memberikan kode kepada saya dan Rudi untuk mempercepat langkah.

Karena saya amat menikmati suasana di alam, saya selalu memilih untuk berjalan paling belakang sambil mengamati sekeliling. "Buuk" terdengar suara sesuatu yang berat jatuh dari pohon, pekikan "Astaghfirullah" dari mulut ketiga rekan tadi terdengar setelahnya. Saya heran dan berteriak "ngapa lo?" Rudi kembali melempar gerak tubuhnya kepada saya untuk diam dan mempercepat langkah.

Ternyata mereka melihat sesuatu yang hitam lompat dari atas pohon, Rudi menambahkan ia mendengar suara erangan macan. Saya berkesimpulan bahwa yang mereka liat adalah macan kumbang.

Untungnya mereka tak lari, karena jika berlari sama saja menantang hewan. Bukan berlari lebih tepatnya, gerakan kaget, mungkin itu yang tepat. Melalui naluri alamiah hewan, mereka akan merasa terancam dengan gerakan seperti yang mengagetkan, mereka akan merasa terancam karena biasanya gerakan itu untuk mempertahankan diri.

Jika kalian lihat adegan seseorang yang hendak menangkap ular di film-film dokumenter, pawang ular akan melakukan gerakan perlahan kearah belakang kepala ular untuk menangkapnya. Ingat, gerakan perlahan! Bukan gerakan yang asal dikeluarkan.

Area incarannya pun bukan di depan mata ular, tapi menghindari kontak matanya dengan mengalihkan pandangan ular lewat gerakan ritmis dari tangan satunya lagi atau bantuan alat. Bagian belakang merupakan titik buta hewan, setidaknya dia tidak bisa melihat kebelakang sehingga naluri menyerangnya sedikit berkurang. Itulah alasannya jika menemukan hewan buas kita tak usah panik.

Sambil berjalan dan memberikan arahan untuk tidak memberikan gestur takut maupun gerakan yang mengagetkan, saya mengingatkan untuk saling berdekatan. Langkah kami terus diayunkan agar menjauh dari area tadi.

Mengingat hari yang semakin sore tepatnya pukul 17.00 WIB, kami memutuskan untuk membuka tenda di Pos Pamerangan. Kami berencana untuk melanjutkan pendakian menuju puncak kala pagi masih gelap sekitar pukul 02.00.

Perbincangan hangat di tenda saat pendakian adalah satu kenikmatan lain. Walau sering bertemu karena rumah kami berdekatan, namun di perjalanan menapaki puncak gunung semua sifat asli orang akan terlihat. Kami mendiskusikan itu semua sampai pada satu titik yang membuat mulut kami berhenti untuk menertawakan diri kami.

Auman macan! Suara itulah yang kami tangkap melalui indra pendengaran kami yang alhamdulilah masih dalam kondisi bagus. Suasana tenda hening sejenak, saya pun meminta kepada dua rekan yang sedang mempersiapkan santap sore untuk masuk ke beranda tenda, dan melanjutkan proses masak memasak di sana.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Auman itu terasa amat dekat dengan tenda, persisnya berada di belakang tenda kami. Lalu sesaat saya baru teringat dengan plang penunjuk jalan yang menampakaan sosok macan kumbang, ternyata inilah arti plang tersebut! Hutan yang masih terjaga membuat satwa di dalamnya masih betah bermain dan tak malu menampakan eksistensinya karena menganggap selain satwa yang sering dilihatnya, mereka adalah pendatang.

Kami mempercepat kunyahan untuk segera berlindung dari ancaman macan. Namun kami tak bisa melakukan itu, ini semua akibat sayuran yang kami bawa telah basi. Niat untuk menyantap sayur asem sirna. Dengan berat hati kami memasak menu lain, yaitu mie instan, makanan paling mewah di atas gunung.

Jujur saja kami hanya membawa mie, nutrijel, dan biskuit serta sayur yang sudah basi itu. Kami tidak berani membawa makanan berbau amis karena menurut beberapa rekan kami di sana masih banyak macan sehingga riskan membawa makanan berbau amis seperti itu.

Setelah menyantap mie yang sudah matang, kami bergegas tidur. Waktu masih menunjukan pukul 19.30 namun kelelahan memaksa kami memejamkan mata. Auman macan semakin sering terdengar dari luar tenda.

Saya dan Tole yang masih melek di tenda berbincang sebentar, kali ini soal pendakian di Gn. Cireme. kami sama-sama sadar bahwa sepanjang track pendakian tidak ada satu tenda pun! Ya kami adalah satu-satunya kelompok yang mendaki di hari itu.

Menyadari hal ini selama perjalanan, sedikit membuat saya risau. Maklum saja, dua orang lainnya adalah pendatang baru di dunia pendakian, jadi jika ada sesuatu yang tak diinginkan akan susah karena hanya saya dan Tole pernah mencicipi ganasnya track gunung.

Kecoa buntung! Pekikku pagi hari pukul 06.00 WIB. satu tenda kaget akibat teriakku. Niat melanjutkan perjalanan pukul 02.00 kandas! Akhirnya kami cepat-cepat membuat makanan berat serta kopi dan teh. Namun sebelum menyantap makanan berat itu, kami memakan nutrijel yang semalam telah dibuat. Suara macan terus terdengar walau jauh dari tenda kami.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Makanan beres, kompor dan nesting telah dibersihkan dan ditaruh di dalam tenda. Kami melanjutkan perjalanan pukul 08.00 WIB tanpa membawa Carrier beserta peralatan mendaki lainnya. Kami hanya membawa tas kecil beserta makan dan minum seperlunya untuk mengejar waktu karena jatah libur saya hanya dua hari.

Perjalanan makin berat, track tanah dengan akar dan pohon tumbangnya terus menemani kami. Tak terhitung berapa pos telah kami lewati, karena setiap pos hanya diberikan nama tanpa label angka. Selain itu, kebanyakan dari pos yang kami lalui baru semua, jadi tidak ada di info pendakian ketika mencari di mbah google. Track ini ternyata baru diperbarui sekitar bulan Agustus 2016. Keterangan ini didapat dari plat yang di buat yang dibumbui dengan keterangan pembuatan di bawahnya.

Akhirnya kami sampai di Pos Bapa Tere, pos yang melegenda di Gn. Cireme. Semua pendaki mungkin sependapat mengenai track satu ini, tanjakannya memaksa bibir kita mampu mencium lutut bro! Sebenarnya ada jalan samping untuk melewati tanjakan curam ini dengan medan yang relatif lebih ringan. Namun karena kebanyakan pendaki yang ingin nampang di beranda instagram, kebanyakan orang memilih melewati tanjakan Bapa Tere yang melelahkan itu.

Bapa Tere memiliki arti bapa tiri, track ini memang menyiksa bagi para pendaki karena memang berat. Mungkin cadasnya tanjakan ini mirip dengan kekejaman bapak tiri terhadap anaknya sehingga, nama Bapa Tere dipilih sebagai nama pos yang satu ini.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Kami beruntung tak membawa peralatan lengkap sehingga cukup cepat melewati tanjakan ini. Akhirnya kami semua berhasil melewati tanjakan bapa tere, jejak langkah pun dilanjutkan. Kini track yang kami lewati adalah bonus karena jalannya landai. Walau begitu, ada satu hambatan lain di depan kami yaitu kabut! Pukul 09.00 kabut mengepung kami di tengah hutan.

Pekatnya kabut menampakkan kesan mistis dari gunung yang satu ini. Lumut di pohon-pohon besar seperti film-film kolosal buatan luar negeri sangat jelas terlihat, membuat imajinasi liar kami terbentuk. Mungkin jika ada sutradara yang mencari spot pembuatan film, area ini bisa dipakai.

Bahaya macan kumbang juga menghantui kami. Sebelum kami beristirahat di tanah lapang tempat kami dibekap kabut, kami melihat satu pohon bergerak sendiri. Tak ada angin, karena pohon di sektitarnya tak ada yang bergerak. Kemudian kami berempat berhenti dan memperhatikan pohon yang aneh ini. Tak lama berselang, kami mendengar suara macan dari pohon itu! Kami berempat langsung berjalan tanpa banyak omong.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Tiba-tiba air turun dari langit, lagi-lagi karena kabut tebal tersebut. Kami was-was karena head lamp tak mampu menembus pekatnya kabut. Hujan ini tak merisaukan kami, kami terus menyantap biakuit dan kopi sambil berkelakar untuk menguatkan mental satu sama lain.

Jam menunuukan pukul 11.00 kami masih menunggu hilangnya kabut dari track. Karena terlalu lama menunggu akhirnya kami memutuskan tak melanjutkan perjalanan. Karena kami tahu puncak masihlah jauh, jika dilihat dari keterangan ketinggian di plang yanga da di area tersebut, kami baru menginjakan kaki di ketinggian 2150 MDPL, masih kurang 1000 MDPL untuk mencapai puncak.

Akhirnya semua bisa menerima keputusan ini, kami bergegas turun dan sampai di tenda pukul 11.00 WIB. Segera kami memasak dan merapikan ceriel masing-masing. Pukul 14.00 kami turun, namun perjalanan masih panjang.

Lagi-lagi kabut tebal mengepung kami. Saya hanya berdoa agar hujan tak turun karena kabut ini lebih pekat dari kabut lainnya. Apa mau dikata, tiba-tiba suara hujan terdengar dari kejauhan. Saya meminta kepada teman lainnya untuk menyiapkan jas hujan. Benar saja, hujan amat lebat turun kami harus bergegas sampai desa sebelum malam datang karena waktu sudah kenunjukan pukul 15.30 WIB.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Ternyata jalur yang kami lewati adalah jalur air, sepatu kami tak terlihat akibat derasnya aliran air yang meluncur kebawah mengikuti jalan setapak tersebut. Langkah pun tak bisa serampangan karena bisa terpeleset, kami amat berhati-hati untuk menuruni gunung. Akibat hujan yang turun demgan derasnya, baju kami basah kuyup walau sudah dilapisi dengan jas hujan.

Kebiasaan saya yang selalu memperhatikan sekeliling ketika mendaki gunung mengharuskan saya melihat sesuatu yang harusnya tidak saya lihat. Ditengah aliran air dan bau kotoran hewan yang saya perkirakan dari kotoran owa, saya melihat jejak macan!  Kembali saya memberitahu kepada tiga rekan di depan untuk mempercepat langkah. Puji syukur, kami berhasil sampai base camp hari kamis, 20 Oktober 2016 pukul 19.00 WIB tanpa cacat sedikitpun.

Saya amat percaya setiap perjalanan memiliki pelajaran tersendiri bagi pelakunya. Dari perjalanan kali ini, saya mendapatkan satu pelajaran bagus yaitu kemenangan bagi seseorang adalah saaat dirinya mampu menundukan ego demi sesuatu yang lebih baik.

Ego saya yang amat penasaran dengan puncak Ciremai harus ditundukan demi rekan lainnya yang mendapatkan banyak pesan dari keluarga dan beberapa rekannya agar segera pulang mengingat cuaca tak bersabat. Selain itu setumpuk kejenuhan yang saya tinggalkan di meja kantor sudah menggunung, saya harus cepat kembali.

Ikhlas, begitulah kata lain dari pelajaran yang saya dapat. Semoga pelajaran ini akan terus diingat dan bisa dilakukan sepanjang hidup. Nyok naek nyok....

Jakarta, 24 November 3016
KA Bogor-Palmerah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun