Dua tahun lalu kegagahan Gunung Cireme telah merasuk ke dalam hati. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan waktu itu. Buih cinta itu timbul lantaran melihat kegagahan Gunung Cireme dari kakinya, setelah saya melewatinya sepulang pendakian Gunung Cikurai.
Namun, kesempatan mencumbuinya tak juga datang. Baru kemarin, tanggal 18 Oktober 2016 akhirnya waktu mempertemukan kami berdua.
Cerita pendakian Gn Cireme dimulai kala bus mengantarkan saya dan ketiga rekan dari Terminal Kampung Rambutan. Awalnya kami berniat lewat jalur palutungan untuk mendaki gunung tertinggi di Jawa Barat tersebut. Nampaknya takdir menginginkan kami lewat track terberat saat mendaki Mt. Cireme yaitu Linggarjati.
Semua ini terjadi akibat bus yang kami tumpangi menurunkan kami di persimpangan jalan TOL yang entah apa namanya. Dengan berat hati kami mencari bus yang mengarah ke palutungan lainnya, sedikit harapan kami untuk menemukan bus dengan tujuan tersebut, karena waktu menunjukan pukul 02.00 WIB.
Kami memutuskan untuk menunggu bis di tempat kami di telantarkan. Akhirnya penantian selama 30 menit berujung manis, sebuah bus melintas dan katanya melewati jalur pendakian via palutungan. Kami berempat lega mendapati kenyataan ini.
Setelah berdiskusi, akhirnya kami memutuskan untuk lewat jalur linggarjati menuju puncak Cireme. Persoalan tak kunjung henti, kali ini kami harus bersabar dengan angkutan yang akan membawa kami sampai ke basecamp pendakian Gn. Cireme via Linggarjati.
Satu dua penjaja ojek motor menghampiri kami, tapi mereka menawarkan jasa dengan harga yang fantastis yaitu Rp.100.000 untuk sekali angkut menuju basecamp! Akhirnya ada seorang tukang ojek dengan motor maticnya menghampiri kami, dia menawarkan jasa sekali angkut Rp.15.000 per orang. Akhirnya kami menerimanya, karena ini adalah harga wajar untuk sekali angkut menuju base camp Linggarjati.
Karena hari masih pagi buta dan penjaga base camp tidak ada, kami menumpang istirahat di pos tim penyelamat Linggarjati yang tak jauh dari base camp. Obrolan berlangsung, dan pada satu titik saya merasa ditipu oleh petugas bus yang kami tumpangi.
Menurut salah seorang anggota tim penyelamat, harga bus berkisar Rp 60.000 dari Jakarta hingga depan jalan Linggarjati. Naasnya kami membayar Rp 80.000 dari Terminal Kampung Rambutan hingga persimpangan jalan tol, sesuai dengan informasi yang ada di blog pribadi milik para pendaki pendaki.
Apesnya lagi, kami memberikan uang Rp 20.000 dari persimpangan tersebut menuju jalan Linggarjati. Padahal, wajarnya ongkos yang diberikan berkisar Rp 10.000.