Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) merupakan sarana yang penting bagi masyarakat. Perannya yang krusial sebagai sarana yang aman untuk menyeberang, membuat perannya amat penting. Namun pada hari sabtu 24 September 2016, JPO berubah laksana pencabut nyawa. Pasalnya, JPO di dekat Stasiun Pasar Minggu ambruk.
Ambruknya jembatan ini merupakan buntut  kealpaan pihak swasta yang memiliki otoritas pengelolaan JPO di Jakarta seperti yang diutarakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Akibat peristiwa ini Ahok ingin pengelolaan JPO diambil alih oleh Pemprov dibawah naungan Dinas Perhubungan dan PT. Trans Jakarta.
Namun semua ini sulit tercapai lantaran kontrak Pemprov dengan pihak pengelola beberapa JPO belum selesai, sehingga kepemilikannya masih dibawah naungan swasta. Tetapi untuk beberapa JPO yang kontraknya habis, pengelolaannya sudah diambil alih oleh Pemprov.
JPO Pasar Minggu umurnya sudah terbilang tua. Saya yang tinggal di dekat sana, masih ingat pembangunan JPO tersebut merupakan prakarsa Gubernur Sutiyoso di akhir-akhir masa jabatannya. Dengan kata lain umur JPO tersebut sudah belasan tahun.
Material yang dulu dipakai membuat kacau kondisi JPO Pasar Minggu ketika masa Fauzi Bowo menjadi Gubernur DKI. Material yang tipis seperti seng, Â membuat beberapa bagian JPO berkarat dan bolong akibat tergerus air hujan. Namun kondisi tersebut diakali dengan mendobel seluruh alas JPO dengan bahan yang digunakan di setiap JPO Halte Trans Jakarta dengan bahan yang lebih tebal. Peremajaan ini terjadi ketika Joko Widodo masih menjadi Gubernur DKI.
Poster beriklan yang dipampang di JPO membuat pelik situasi. Dengan adanya penahan angin keluar dari JPO, dalam hal ini poster, membuat tekanan angin terhadap JPO semakin kuat. Karena rumah saya masih di bilangan Pasar Minggu, saya mengetahui betapa kuatnya angin yang berhembus saat sabtu sore. Hujan yang di sertai dengan angin dan petir menyebabkan banyak pohon tumbang di sekitar rumah saya.
Ketiga situasi yang kompleks ini menjadikan JPO tak kuat lagi berdiri melayani warga Pasar Minggu. Dia pun ambruk dan merenggut tiga korban jiwa. Sebenarnya pengelolaan JPO di Jakarta masih amburadul, masih banyak PR yang harus diselesaikan. JPO di Jakarta jarang digunakan oleh warga khususnya JPO yang tidak menghubungkan warga dengan shelter Trans Jakarta.
Para lansia akan kesulitan menaiki tangga, mereka akan merasa capek karena sudah tua. Tangga juga menjadi momok bagi penyandang diaabilitas. Mereka dengan kursi rodanya tidak bisa naik tangga penyebrangan. Mereka harus menunggu bantuan orang lain untuk membantunya menaiki dan menuruni anak tangga hanya untuk menyebrang jalan!
Ini tidak efisien di era modern. Di era ini, masyarakat dituntut untuk cepat dan mampu memanfaatkan waktu yang sesingkat dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa JPO yang menyediakan jalanan non tangga. Namun, pengendara motor yang menikmati layanan ini. Mereka dengan seenaknya menggunakan fasilitas ini untuk menyeberangi motornya melewati jembatan penyebrangan. Namanya saja JPO, seharusnya selain orang dilarang menikmati fasilitas ini.
Sebenarnya ada beberapa JPO yang sudah di lengkapi dengan fasilitas seperti eskalator dan lift seperti di depan Mall Sarinah. Namun fasilitas ini tak berfungsi. Pedagang juga memanfaatkan JPO, khusunya JPO yang ramai dilewati warga. Para pedagang seenaknya menggelar lapak di sepanjang JPO. Kondisi ini membuat kenyamanan masyarakat yang menikmati fasilitas ini terasa terganggu.
Ruang yang harusnya digunakan warga untuk berjalan jadi semakin mengecil, layaknya aliran Sungai Ciliwung yang kanan kirinya dibangun rumah dan dipenuhi sampah, alirannya jadi mandek sehingga lama kelamaan banjir. Masyarakat pengguna JPO juga begitu. Akibat ada yang membeli barang jualan si pedagang, lahan untuk masyarakat menyusuri JPO semakin mengecil, akhirnya tumpukan orang terjadi di titik yang terdapat penjual dan pembeli. Macet akhirnya tak bisa terelakan.
Adalagi JPO yang jarang sekali dilewati oleh warga. Hal ini terjadi lantaran di JPO tersebut rawan aksi kriminalitas dan kemalasan warga menggunakan JPO seperti yang sudah disebutkan diawal, Â menambah rentetan sepinya JPO. Contohnya banyak, tapi saya akan ambil contoh JPO di depan terminal Lebak Bulus.
Tahun lalu, JPO tersebut menjadi buah bibir karena terjadi aksi kekerasan seksual. Seorang wanita dipaksa memuaskan nafsu birahi pria di atas jembatan tersebut. Kondisi jembatan yang ditutupi papan reklame membuat warga di sekitaran JPO tak bisa melihat situasi JPO.
Saya yang dulunya berprofesi sebagai wartawan portal online di Jakarta mendapat banyak kisah soal kriminalitas yang terjadi disana. Ternyata kekerasan seksual di JPO tersebut bukan kali pertama terjadi.
Menurut penuturan pedagang es balok dan penjual tanaman hias yang melakukan aktifitasnya dibawah JPO tersebut, kekerasan seksual pernah terjadi sekitaran tahun 2013. Kala itu, wanita yang selesai menjalankan ibadah Shalat Tarawih dipaksa untuk melayani nafsu pria. Beruntung wanita itu teriak dan warga mendengarnya, alhasil tindakan bejat itu tidak terjadi akibat pelaku yang sudah melihat pergerakan warga menuju kearahnya.
Begitulah kira-kira penuturan warga. Walaupun tidak sama persis dengan wawancara saya tahun lalu, tetapi intinya seperti itu. JPO tersebut memang sangat sepi, karena saya mengalaminya sendiri. Saya menunggu pengguna JPO melintas namun selama kurang lebih 3 jam, hanya dua orang yang saya temui. Keduanya pun menuturkan hal yang sama, mereka takut karena JPO tersebut rawan aksi kekerasan.
Dari keduanya saya menemukan kasus pencopetan pernah terjadi. Bahkan ada dua orang yang terganggu kejiwaannya manjadikan JPO tersebut sebagai tempat persinggahannya. Lebih miris lagi ketika mengetahui keduanya sering memainkan penisnya sehingga membuat jijik warga khususnya perempuan.
Bagi seorang pewarta berita kriminal, insting melihat detil dilapangan perlu di perhatikan. Hal ini dilakukan untuk mencari fakta baru diluar kasus yang terjadi untuk mendukung data yang akan kita olah menjadi berita. Disamping penguasaan materi yang harus mempuni sehingga wsrtawan mampu memainkan isu dan selalu update seluruh kasus yang terjadi.
Insting harus bermain disini, melihat jumbal barang bukti yang tak hanya satu bisa jadi warga yang tak bertanggung jawab sering berkumpul di JPO untuk mabuk dan mengkonsumsi narkoba. Akhirnya saya mencari narsum baru yang 24 jam berada disana dan pilihan saya jatuh pada satpam sebuah ruko yang berada di seberang penjaja tanaman hias.
Darinya, saya menemukan banyak fakta bawa JPO itu sering digunakan oleh anak "Punk" untuk mabuk dan mengkonsumsi narkoba. Bahkan beberapa tahun belakang, ada dua orang dari kumpulan itu yang tewas overdosis. Namun menurutnya, warga tidak ada yang menolong orang itu karena telah geram atas kelakuan mereka selama ini.
Polisi pernah menggerebek perkumpulan itu di JPO yang sama, namun para pelaku tidak berhasil ditangkap. Hal ini terjadi karena mereka sedang tidak ada di JPO itu.
Selain anak Punk, satpam yang saya mintai keterangannya juga mengatakan tindak asusila pernah terjadi. Kali ini pelakunya adalah dua sejoli yang melakukan hubungan intim diatas JPO.
Satpam itu awalnya melihat kendaraan motor yang diparkir di pinggir jalan. Tetapi si empunya tidak kunjung turun dari JPO bersama pasangannya. Satpam yang penasaran pun mengajak rekannya melihat yang terjadi. Ternyata dua sejoli itu sedang bercinta diatas JPO. Satpam yang sudah menggengam batu dari bawah, langsung melemparkan batu. Pasangan itu pun tunggang langgang sambil membenahi celana yang belum tertutup sempurna.
Seharusnya pemerintah mengambil sikap untuk menertibkan kondisi JPO yang sangat memprihatinkan ini. Salah satunya dengan melakukan perawatan di setiap JPO yang ada, karena JPO di Jakarta adalah JPO yang cukup berumur. Menambah fasilitas seperti kamera pengawas yang terintegrasi ke pemprov dan Polda Metro cukup baik untuk meminimalisir kejahatan yang terjadi di JPO.
Lalu untuk menambah minat warga menggunakan JPO, pihak terkait harunya menambah fasilitas seperti eskalator ataupun lift untuk mempermudah warga mengakses JPO. Tentu saja ini akan mempermudah penyandang disabilitas dan lanjut usia untuk mencintai JPO.
Semoga beberapa masukan tadi dapat di terima oleh otoritas terkait dalam mengevaluasi pembangunan JPO kedepannya.
KA Bogor - Palmerah
Jakarta, 26 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H