Kisah ini dimulai dari cara mendapatkan kekuasaan. Damarwulan, seorang biasa yang mampu memperistri Ratu Majapahit. Dia harus menjalani hidup penuh derita sebelum merengkuh singgasana.
Pertama, ia harus berguru pada Eyang Resi di gunung, kemudian mengabdi di kepatihan sebagai tukang kuda. Disana ia mendapat pelajaran salah satunya menghilangkan segala sifat buruk dalam hatinya.
Cerita ini menjadi dongeng tidur bagi anak-anak Jawa terdahulu sebagai suri tauladan jika kelak ingin menjadi seorang yang hebat. Mereka harus berguru kemudian mengabdi sembari mengalahkan ego di sanubari, intinya seperti kata pepatah "berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian,".
Tapi Ken Arok harus dijadikan pengecualian. Cerita Lelaki yang hidup liar tapi beubah menjadi raja dari dinasti baru dan sukses menjetak raja-raja di kemudian hari menggantikan keturunan-keturunan Airlangga.
Kedua cara mendapatkan tanggup kekuasaan ini memang berbeda, yang satu lahir dari sistem mapan sedang yang satunya besar berkat pertententangan. Jelas sekali keduanya memiliki dampak berbeda, karena Damarwulan sebagai contoh pertama lahir dari sistem yang di anut saat itu, riaknya tak terasa. Tetapi naiknya Ken Arok menuju pucuk kepemimpinan melahirkan gejolak di lapisan rakyat karena menentang apa yang sudah ada.
Ken Arok mendapatkan kekuasaannya dengan cara membunuh Pemimpin Tumapel, salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Kediri, Tunggul Ametung. Dia membunuh Tunggul Ametung dengan bantuan kris sakti yang dibuat oleh Mpu Gandring.
Cara apapun yang di tempuh, toh hingga kini keduanya sah saja dilakukan tetapi keabsahannya harus di perhatikan. Manusia memerlukan sebuah pembenaran akan sesuatu layaknya Ken Arok yang mengaku sebagai penjelmaan Wisnu. Jika keabsahan ini tak ada, kepemimpinan hanyalah sebuah paksaan, pertentangan akan terjadi di kemudian hari.
Cerita keduanya mengingatkan kita akan kekuasaan yang diperoleh oleh Soekarno maupun Soeharto. Soekarno mendapatkan kursi RI 1 berkat perjuangannya melawan penjajah, sehingga masyarakat memiliki kepercayaan tinggi kepadanya. Pemilihannya sebagai presiden pun jelas melalui sidang KNIP pada 18 Agustus 1945.
Sementara Soeharto, kita tau dia mendapatkan kekuasaan dengan cara yang masih menjadi kontroversi yaitu melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar). Banyak kalangan menilai surat tersebut ditunjukan untuk mengamankan situasi di Indonesia. Tetapi Soeharto menafsirkannya secara berbeda, dia menilai surat tersebut merupakan perintah Presiden Soekarno untuk pengangkatan dirinya menjadi Presiden.
Cara jatuhnya kekuasaan Ken Arok dan Soeharto pun sama, yaitu dengan darah. Bedanya, Ken Arok jatuh dari kekuasaannya karena dibunuh anak tirinya bernama Anuspati, sedangkan Soeharto lewat ribuan nyawa akibat peristiwa 98.
Kejatuhan keduanya amat mirip sesuai cara mereka merebut kekuasaan. Ken Arok membunuh Penguasa Tumampel, dan mati di bunuh oleh anak tirinya, buah pernikahan Tunggul Ametung dan Isterinya— Ken Dedes yang dikemudian hari dipinang oleh Ken Arok— sedangkan Soeharto m,endapatkan tanggup kekuasaannya dengan huru hara jatuhnya pun dengan huru-hara masyarakat tahun 98. Seperti kata orang “buah yang kau dapat merupakan apa yang kau semai” kata-kata itu mungkin menggambarkan takdir kedua pemimpin tadi.
Menurut gaya kepemimpinan Jawa, Raja adalah penerima wahyu kedaton (anugerah Tuhan yang menjadikannya sebagai raja). Penjelmaan ini dapat terlihat dari wayang. Dalang, dengan kekuasaannya, mampu mengontrol jalannya sandiwara. Lewat kemampuannya Ki-Dalang dianggap sebagai Tuhan.
G.W.J Drewes pernah menuliskan salah satu sajak yang katanya berasal dari Sunan Bonang abad 16.
Saluruh perhatian saya terpusat pada apa yang dilakukan Ki Dalang
Semuanya adalah hasil yang dikerjakan
Dia yang menyebabkan dan ia yang memerintahkan dan juga tujuan kerjanya
Tidak ada sesuatu yang dapat dilihat yang tidak bersumber pada Ki Dalang.
Semakin dekat dengan raja, semakin besar pengaruh dan kekuasaan kepemimpinan seseorang. Kedekatan tersebut hanya bisa terjadi jika orang itu merupakan keluarga, orang kepercayaan dan kesayangan raja.
Dari sana raja membagi kekuasaan sekaligus mengontrol kekuasaannya dengan pembagian tersebut. Pada wayang menyebutkan sifat raja dan pemimpin yaitu orang yang memenuhi aspek kewibawaan, kemurahan hati dan lain-lain membantunya mengontrol sekelilingnya.
Novel Max Havelar karangan Multatuli mampu menggambarkan kekuatan seorang raja di kehidupan masyarakat Jawa. Sampai-sampai dalam novel tersebut digambarkan kekuatan seorang Raja dalam mengendalikan masyarakatnya membuat belanda pada wajktu itu harus berkompromi dengan raja.
Belanda sangat memperhatikan kehidupan keluarga kerajaan. Mereka takut akan kesetiaan masyarakat, khususnya Banten dalam novel tersebut, kepada sang raja karena bisa saja para raja memerintahkan rakyatnya untuk berperang melawan pemerintah kolonial saat itu. Ongkos Belanda untuk berperang pun akan tinggi demi memenangkan perang tersebut.
Dalam kepemimpinan Raja Jawa, kekuasaan seorang raja harus mutlak di ikuti oleh bawahannya termasuk masyarakat lapisan terendah sekalipun. Kepemimpinan seorang raja layaknya kehidupan di dunia tapi disempitkan wilayahnya, kepemimpinan digambarkan sebagai anggota tubuh yang saling terikat dan raja sebagai porosnya atau otaknya.
Kepemimpinan tradisional sering dikukuhkan dengan cara kekerasaan termasuk dalam sektor pendapatan kerajaan. Cara-cara penaklukan wilayah serta pemberlakuan penyerahan upeti kepada raja menjadi contoh bagaimana kekuasaan itu dikukuhkan dengan kekerasan. Bahkan Soemarsaid Moertono pernah berkata bahwa perang merupakan hakekat dari Kerajaan Mataram.
Cara-cara kepemimpinan tradisional Jawa sangat mirip dengan gaya kepemimpinan Soeharto. Saat itu kekerasan menjadi alat untuk menyingkirkan orang-orang dengan pemikiran yang tak sepaham. Pemikiran diluar pancasila dinistakan, sebab tokoh-tokoh dengan paham yang berbeda dari pancasila sering mengkeritik kepemimpinan Soeharto.
Hal ini dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk tetap tunduk padanya. Peristiwa 12 September 1984 menjadi contoh nyata. Para alim ulama di Tanjung Priok melakukan aksi karena tidak sepaham dengan kepemimpinan Soeharto, tetapi apa yang mereka dapati? Pembunuhan oleh para angkatan bersenjata terjadi. Ribuan nyawa melayang. Untuk menghilangkan jejak, mereka yang mati segera di ambil jasatnya untuk di buang ke pemakaman dalam satu lubang di suatu tempat yang belum ditemukan hingga kini.
Korban luka-luka dibawa ke rumah sakit angkatan darat gatot subroto, tetapi mereka tidak diperkenankan ditemui oleh sanak saudara. Setelah kondisinya membaik, mereka dijebloskan ke penjara.
Dalam buku Negarakertagama pernah digambarkan tentang kekejaman raja kepada para pemberontak "...Mereka didatangi pasukan ekspedisi dan ditiadakan sama sekali oleh pasukan jaladin mantry nan tak terbilang jumlah, dan mashur namanya"
Jaladin Mantari merupakan angkatan bersenjata pada zaman Majapahit, kutipan itu sangat mirip seperti tindakan ABRI terhadap masyarakat, khususnya orang-orang yang tidak sepaham dengan Soeharto. Bahkan banyak aktifis pro demokrasi yang hilang tanpa jejak di zaman tersebut. Penembakan misterius (petrus) juga terjadi saat itu serta pemenjaraan tanpa pengadilan acap kali dirasakan oleh tahanan politik (Tapol).
Bisa dibilang kepemimpinan Soeharto mirip dengan kepemimpinan Raja-raja Jawa terdahulu, karena latar belakang Soeharto yang amat senang kebudayaan wayang serta dia merupakan keturunan Jawa tulen. Bahkan saat Soeharto berkuasa, stasiun televisi nasional Indonesia pada zamannya sering menayangkan pagelaran wayang.
Jangan lupakan soal sepak terjang Presiden ke dua Indonesia di bidang militer. Lewat pengetahuan militer, dirinya mengimplementasikan caranya memimpin Republik Indonesia dengan cara-cara militer. Tidak mengherankan jika saat itu Indonesia menganut sistem pemerintahan otoriter yang mengagungkan kekuasaan Presiden sebagai kekuasaan tertinggi serta bantuan militer untuk mengendalikan masyarakat.
Sebenarnya sistem pemerintahan otoriter juga dilakukan semasa Soekarno berkuasa. Lalu mengapa sistem ini dipilih oleh kedua pemimpin kita terdahulu? Jawabannya akan diulas dalam artikel selanjutnya, selamat menunggu kudapan baru dari saya, semoga bermanfaat.
KA Bogor-Palmerah
13 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H