Lalu bagaimana perang memperebutkan kursi PSSI 1? PSSI telah mengumumkan daftar nama calon yang akan bertarung dalam KLB di Sulawesi Selatan. Setidaknya ada tiga nama hingga tanggal 31 Agustus 2016 yang resmi mencalonkan diri, ketiganya adalah Edy Rahmayadi, Moeldoko, dan Erwin Aksa.
Mari kita telisik sepak terjang ketiganya. Edy Rahmayadi dan Moeldoko adalah orang dengan latar belakang militer. Edy merupakan Panglima Komando Cadanagan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrat) yang masih aktif sedangkan Moeldoko merupakan seniornya. Terakhir karier Moeldoko di bidang kemiliteran menjabat sebagai Panglima Jenderal TNI.
Para prajurit memiliki caranya tersendiri dalam bertugas, berbeda dengan pekerja di kantoran, mereka selalu melaksanakan perintah atasannya tanpa bantahan. Lalu, siapakan panglima tertinggi dalam dunia kemiliteran? Jawabnnya tidak lain dan tidak bukan adalah presiden. Bukan tidak mungkin jika keduanya bisa disetir oleh pemerintahan yang sarat akan nuansa politis.
Bagaimana dengan Erwin Aksa? Pria ini bukan orang baru di dunia sepak bola, karena dia pernah mencalonkan diri sebagai waketum PSSI periode 2011-2015. Erwin Aksa tercatat sebagai Wakil ketua Kadin, organisasi yang membuat La Nyalla masuk bui seperti yang sudah diutarakan sebelumnya.
Keponakan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini merupakan Direktur Utama konglomerasi dagang di indonesia Timur bernama Bosowa Corp. Sangat mungkin jika pemilik suara di indonesia Timur memilihnya sebagai ketum PSSI 2016-2020.
Apakah Anda ingat Panama Papers? Sebuah skandal penggelapan pajak di panama melalui firma hukum internasional Mossack Fonseca. Erwin Aksa menjadi salah seorang yang masuk dalam daftar orang di Panama papers tersebut. Sayangnya skandal yang menyeret banyak tokoh Indonesia menguap begitu saja di permukaan hingga kini belum ada audit dari pemerintah atas masalah tersebut. walau agak skeptis, tapi bukan tidak mungkin kasus penggelapan pajak yang bisa dibilang penyelewengan jabatan akan kembali terulang jika dia menjadi ketua PSSI kelak.
Jika ditelisik lebih jauh, sejarah mencatat pahlawan sekaliber Tan Malaka menggunakan sepak bola sebagai cara perlawanan bawah tanahnya di Banten Selatan. Tan Malaka membentuk kesebelasan bernama Pantai Selatan.
Tahanan politik Indonesia yang dibuang oleh Kolonialis Belanda di Digul juga melakukan sepak bola. Para tahanan melakukan ini untuk menghilangkan kebosanannya di tanah buangan. Jika tidak begitu mereka akan dihantui oleh rasa frustasi dan depresi.
Mungkin gambaran paling nyata tentang penjajahan yang berbau politis dalam sepak bola dapat dilihat di Barcelona. Barcelona merupakan kota yang dihuni oleh Bangsa Catalan, mereka selalu berusaha membebaskan diri dari Spanyol.
Pepatah mengatakan “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui” itulah yang dilakuka Franto, membiarkan sekaligus mengendalikan rasa nasionalisme Catalan dengan memperbolehkan menyuarakan rasa nasionalisme tersebut di lapangan hijau.
“Kick Politic in Our Football” hanyalah dagelan belaka jika meruntut kondisi sekarang, karena tidak bisa dipungkiri, kekuasaan pemerintah dalam bentuk politik telah merasuki sendi-sendi sepak bola bahkan sejak masa penjajahan dulu. Mari kita memperhatikan dunia sepak bola, sebagai sarana murah untuk rakyat mengurangi beban hidup sekaligus mempersempit ruang politikus mirip tukus yang memakan apapun di depannya termasuk kebahagiaan masyarakat tadi.