Kemudian di dalam negeri konflik yang meruncing antara ABRI dan PKI semakin memanas. Dengan dimasukannya armada perang ke lima yang dikuasai oleh rakyat, rakyat diberikan senjata dari RRC pada waktu itu. Tetapi kebijakan ini tidak dikehendaki oleh Militer. Ditambah lagi pengambilan paksa tanah pertanian oleh para saudagar yang sepihak oleh kaum tani.
PKI tidak mau kekuasaannya diganggu oleh bangsa barat dengan sistem kapitalisnya merencanakan kudeta. Tetapi sebagai seorang Pangkostrad, Soeharto sudah tau niat busuk oknum PKI itu. Dirinya membiarkan pembunuhan tersebut dan memanfaatkan situasi ini dengan menyetir supersemar yang berisi perintah pengamanan negara menjadi pemberian mandat kekuasaan presiden.
Soeharto, walaupun sudah menurunkan seluruh personelnya untuk menjaga keamanan masyarakat malah membiarkan pembantaian yang lebih besar terjadi. Kebencian terhadap PKI meluas di masyarakat. Dengan sendirinya PKI dan komunisnya hilang dari tanah Indonesia dengan tumpahan darah dan mayat di kali-kali.
Jadi dapat disimpulkan, situasi tersebut dimanfaatkan oleh banyak pihak, bukan hanya PKI, Soeharto, PKI, Komunis Uni Soviet dan RRC, AS dengan CIA-nya merupakan dalang dari kerusuhan itu.
Menurut sejarah yang ada itu amat tidak tepat dilakukan. Karena sejarah juga mencatat, perjuangan Indonesia merdeka tidak lepas dari paham marxisme yang dilarang.
Dalam pidato Bung Karno pada kursus Pancasila tanggal 22 Juli 1958 di Istana Negara, Jakarta secara terang benderang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan turunan dari Marxisme tersebut. Karena baik marhaenisme dan marxisme merupakan sebuah perwujudan perjuangan kelas-kelas yang tertindas.
Bedanya, Indonesia lebih banyak memiliki para petani yang memiliki alat kerjanya sendiri yang ia sebut kaum marhaen. Jika merujuk penamaan Proletar dari marxisme, disana hanya merujuk pada buruh yang menjual tenaganya saja.
Menurut Bung Karno di kesempatan yang sama mengatakan “Marxisme adalah satu cara pemikiran. Cara pemikiran bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar supaya tercapai masyarakat yang adil,” katanya.
Jadi jika menghilangkan pemikiran marxis, lenin, dan komunis dari bumi Indonesia dirasa amat menyakitkan mengingat Sang Proklamator mengambil initisari perjuangannya lewat tiga paham tadi dan digabungkan dengan nasionalisme serta Islam.