Lebaran sebentar lagi, semua Umat Islam dan penduduk dunia menyambut Hari Besar Agama Islam tersebut. Bagi orang Indonesia sendiri dengan penduduknya yang mayoritas memeluk Agama Islam, terdapat tradisi mudik. Kebanyakan orang kembali ke kampung halamannya untuk bertemu sanak keluarga di sana sekaligus menikmati libur panjang bersama keluarga.
Pedagang juga menyambut datangnya hari yang terjadi sehari dalam setahun ini. Banyak toko yang memberikan potongan harga untuk barang jualannya tak terkecuali barang-barang olah raga khususnya olah raga luar ruangan. Alat-alat barang tersebut sangat mahal mengingat tidak sembarang barang bisa di gunakan untuk melakukan olahraga yang tergolong memiliki tingkat kesulitan tinggi seperti mendaki.
Para produsen pembuat alat khususnya untuk mendaki berlomba memberikan potongan harga tinggi untuk memancing animo penikmat olahraga mendaki gunung. Pemberian potongan harga khusus ini bukan tanpa alasan, pasalnya para pegawai mendapat gaji lebih seperti THR dan para pelajar juga mendapatkan uang lebih, karena di dalam kebiasaan kita sebagai muslim di Indonesia memiliki tradisi memberikan uang kepada anak karena mereka berhasil menyelesaikan puasa dengan optimal.
Hari Raya Idul Fitri juga di peringati oleh seluruh Rakyat Indonesia, tak heran saat Hari Raya di berikan libur nasional bagi masyarakat. Hal ini sering di manfaatkan oleh seluruh rakyat dengan berlibur atau menikmati kebersamaan dengan keluarga besar. Bagi para Pegawai Negri Sipil, libur yang di berikan pemerintah mencapai satu minggu dan bagi pegawai swasta, biasanya perusahaan memberikan jatah libur sebanyak tiga hari minimal.
Bagi para pendaki, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan hobinya untuk mendaki gunung. Mendaki memang memerlukan waktu yang lama hingga sampai ke rumah karena dalam pendakian ada filosofi yang menyatakan “puncak adalah bayangan dan rumah adalah tujuan” jadi penulis menulis sampai rumah bukan puncak.
Hobi untuk mendaki gunung memang beberapa tahun terakhir marak terjadi, aktivitas pendakian gunung mulai marak sejak meledaknya film 5 cm yang mengambil latar Gunung Semeru serta semua keindahannya. Ditambah lagi dengan para pengguna media sosial yang mengunggah foto-fotonya ke akun pribadinya menambah rasa ingin tau orang lain untuk mencicipi nikmatnya sensasi foto di atas gunung.
Kematian bisa saja datang karena kondisi fisik yang tidak prima sehingga suhu tubuh tidak normal dan terjadi hippotermia, sebuah penyakit yang pasti datang kepada siapa saja di suhu dingin. Belum lagi kondisi tubuh yang turun karena kelelahan akibat tidak mempersiapkan stamina dengan baik sebelum memulai pendakian.
Belum lagi dampak kurangnya stamina mampu menghadiahkan kita penyakit hipotermia dan berujung kematian. Nyatanya hipotermia bukan melulu dampak dari ekstreamnya cuaca, itu hanya salah satu faktor pemicu datangnya penyakit yang identik dengan suhu dingin.
Selain itu hippotermia hadir ketika tubuh kurang asupan makan sehingga tubuh tidak bisa bekerja maksimal membakar lemak di tubuh karena semu staminanya habis ketika mendaki gunung. Ditambah dengan pakaian basah menambah mudahnya hippotermia menghinggap di tubuh Anda.
Kematian lainnya juga sering terjadi akibat kelalaian para pendaki seperti peristiwa tewasnya seorang pendaki di Gunung Merapi. Peria tersebut ceroboh saat bergaya sebelum di foto dan jatuh ke Kawah Gunung Merapi. Di area tempat kejadian tersebut memang menawarkan pemandangan indah, tetapi di areal yang di kenal dengan Puncak Garuda terdapat plang larangan untuk memanjak karena risiko terjatuh cukup tinggi.
Gunung berubah bagaikan lautan sampah. Walaupun para pemegang otoritas gunung tersebut sering menutup kawasan wisata pendakian tersebut untuk penghijauan, lagi-lagi setelah jalur pendakian di buka, sampah berceceran dimana-mana.
Para pendaki melupakan ilmu dasar yaitu menghargai alam karena alam telah memberikan kita nikmat yang luar biasa dengan pemandangan dan udara segarnya. Sayangnya tangan jahil mengotorinya.
Aksi merusak lingkungan juga acap kali terjadi, atau biasa di sebut dengan vandalisme,aksi corat coret sering di lakukan pendaki untuk mengabadikan dirinya pernah singgah di gunung tersebut. Kelakuan memalukan lainnya terjadi di Taman Nasional Gunung Rinjani, disana di pasang plat nama bertuliskan “Segara Anak Lake”.
Pemasangan ini di lakukan persis di depan Danau Segara Anak berlatar belakang Gunung Rinjani. Plat tersebut dinilai memperburuk keindahan di sana. Lebih parah lagi plat tersebut disinyalir di gagas oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Agus Rudi. Pemasangan plat ini tidak sesuai dengan filosofi pendakian yaitu “jangan ambil sesuatu kecuali gambar, jangan buru apapun kecuali waktu, dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak”.
Bukan hanya pemdaki gunung, para masyarakat lokal di sana sangat mengutuk kejadian tersebut. Gunung Rinjani merupakan gunung yang di sakralkan oleh masyarakat. Apa lagi Danau Segara Anak adalah sumber mata air bagi penduduk untuk menjalankan aktifitasnya.
Sebenarnya Gunung dan aktivitas mendaki pada umumnya menawarkan kita banyak sekali hal menarik selain foto. Karena banyak ilmu yang ditawarkan alam kepada kita.
Saat mendaki biasanya kita melakukannya dengan berkelompok, untuk itu kerjasama tim sangat di butuhkan. Jika tidak mampu membangun kedekatan dengan individu dalam kelompok tersebut, kita telah gagal dalam melakukan pendakian.
Perpecahan akan memberikan dampak negativ selama perjalanan sehingga jika terjadi sesuatu terhadap rekan satu tim, kelompok tersebut tidak bisa saling membantu bahkan menjaga. Sering sekali penulis jumpai ketika mendaki gunung, salah seorang anggota kelompok di tinggal oleh kelompoknya dengan berbagai alasan. Bayangkan jika rekan yang di tinggalkan tadi mendapatkan musibah, bagaimana pertanggung jawaban rekannya kepada sanak keluarga yang di tinggalkan?
Untungnya banyak juga pendaki merangkul orang yang di tinggalkan tersebut. Perasaan saling membantu itu terbentuk dengan pengalaman dan perasaan saling menjaga, walaupun mereka berbeda kelompok tetapi para pendaki adalah satu yaitu pencinta alam.
Penulis juga memiliki pengalaman pribadi saat menolong pendaki lain. Ketika kelompok pendaki berjumlah 12 orang tersesat di tebing gunung. Walaupun kelompok pendakian saya baru tiba di tempat mendirikan tenda, tetapi karena mendengar terikan minta tolong, kelompok saya segera mengeluarkan alat penyelamatan seperti tali. Bayangkan saja jika kelompok pendaki yang tersesat itu tidak di tolong, mungkin Gunung Mangla memberikan cerita baru bagi pewarta dengan Head Line “12 pendaki hilang di Gunung Manglayang”.
Bagi penulsi pribadi, mendaki gunung bukanlah sebatas hobi dan gaya hidup tetapi lebih jauh, yaitu sebuah filosofi untuk hidup. Hidup memiliki tantangan tersendiri dan kita harus mengarunginya sekaligus menyelesaikan permasalahannya hingga mencapai titik dimana menjadi tujuan hidup kita. Masalah itu selalu datang tak pernah bosan, kita harus memiliki mental kuat dalam mengarungi hidup.
Jadi mulai dari sekarang hilangkan anggapan bahwa mendaki gunung adalah cara tepat sebagai sarana berfoto dan bersenang senang, karena naggapan itu akan membawa dampak negatif seperti yang sekarang kita liat. Fungsi gunung sebagai penyedia oksigen berubah sebagai bak sampah terbuka bagi pendaki.
Buang jauh-jauh pikiran tersebut dan ubah menjadi “gunung itu tempat bermain yang harus di jaga sekaligus tempat kita mengenal hidup, alam, lingkungan, dan terutama mengingat Tuhan”.
SALAM LESTARI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H