Para pendaki melupakan ilmu dasar yaitu menghargai alam karena alam telah memberikan kita nikmat yang luar biasa dengan pemandangan dan udara segarnya. Sayangnya tangan jahil mengotorinya.
Aksi merusak lingkungan juga acap kali terjadi, atau biasa di sebut dengan vandalisme,aksi corat coret sering di lakukan pendaki untuk mengabadikan dirinya pernah singgah di gunung tersebut. Kelakuan memalukan lainnya terjadi di Taman Nasional Gunung Rinjani, disana di pasang plat nama bertuliskan “Segara Anak Lake”.
Pemasangan ini di lakukan persis di depan Danau Segara Anak berlatar belakang Gunung Rinjani. Plat tersebut dinilai memperburuk keindahan di sana. Lebih parah lagi plat tersebut disinyalir di gagas oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Agus Rudi. Pemasangan plat ini tidak sesuai dengan filosofi pendakian yaitu “jangan ambil sesuatu kecuali gambar, jangan buru apapun kecuali waktu, dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak”.
Bukan hanya pemdaki gunung, para masyarakat lokal di sana sangat mengutuk kejadian tersebut. Gunung Rinjani merupakan gunung yang di sakralkan oleh masyarakat. Apa lagi Danau Segara Anak adalah sumber mata air bagi penduduk untuk menjalankan aktifitasnya.
Sebenarnya Gunung dan aktivitas mendaki pada umumnya menawarkan kita banyak sekali hal menarik selain foto. Karena banyak ilmu yang ditawarkan alam kepada kita.
Saat mendaki biasanya kita melakukannya dengan berkelompok, untuk itu kerjasama tim sangat di butuhkan. Jika tidak mampu membangun kedekatan dengan individu dalam kelompok tersebut, kita telah gagal dalam melakukan pendakian.
Perpecahan akan memberikan dampak negativ selama perjalanan sehingga jika terjadi sesuatu terhadap rekan satu tim, kelompok tersebut tidak bisa saling membantu bahkan menjaga. Sering sekali penulis jumpai ketika mendaki gunung, salah seorang anggota kelompok di tinggal oleh kelompoknya dengan berbagai alasan. Bayangkan jika rekan yang di tinggalkan tadi mendapatkan musibah, bagaimana pertanggung jawaban rekannya kepada sanak keluarga yang di tinggalkan?
Untungnya banyak juga pendaki merangkul orang yang di tinggalkan tersebut. Perasaan saling membantu itu terbentuk dengan pengalaman dan perasaan saling menjaga, walaupun mereka berbeda kelompok tetapi para pendaki adalah satu yaitu pencinta alam.
Penulis juga memiliki pengalaman pribadi saat menolong pendaki lain. Ketika kelompok pendaki berjumlah 12 orang tersesat di tebing gunung. Walaupun kelompok pendakian saya baru tiba di tempat mendirikan tenda, tetapi karena mendengar terikan minta tolong, kelompok saya segera mengeluarkan alat penyelamatan seperti tali. Bayangkan saja jika kelompok pendaki yang tersesat itu tidak di tolong, mungkin Gunung Mangla memberikan cerita baru bagi pewarta dengan Head Line “12 pendaki hilang di Gunung Manglayang”.