Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika VOC, Soekarno, dan Ali Berbicara Soal Ahok

22 Juni 2016   12:28 Diperbarui: 22 Juni 2016   13:49 4032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesta demokrasi bagi DKI 1 masih setahun lagi tetapi riaknya telah terasa sejak lama. Para partai politik (Parpol) bergeliat mencari formula terbaik untuki mengusung satu pasangan calon Gubernur. Banyak parpol sudah menentukan sikapnya untuk mengusung calon tertentu seperti Gerindra yang mengusung Sjafrie Sjamsudin sebagai salah satu penantang Gubernur petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Ahok sendiri telah mentasbihkan dirinya untuk maju ke jalur Independen. Bersama relawan yang menamakan diri sebagai “Teman Ahok” keduanya menjadi penantang kuat bagi parpol dalam perebutan kursi DKI 1. Relawan tersebut telah berhasil mengumpulkan 1 juta KTP sebagai syarat calon independen untuk maju.

Dalam masa baktinya yang akan habis dalam 1 tahun kedepan, telah banyak trobosan yang dilakukan oleh Ahok. Walau banyak kontroversi mengiringinya tetapi banyak perkembangan bagi Jakarta di bawah kepemimpinannya. Sebut saja “Pasukan Oranye” PPSU, satuan petugas kebersihan ini memiliki ruang lingkup kerja yang dekat dengan rumahnya karena area kebersihannya hanya di sekitaran kelurahannya.

Pemerintah Provinsi DKI (Pemprov) kali ini mencoba melakukan pendekatan humanis dengan mengambil petugas yang berasal dari lingkungan yang sama dengan area tempat tinggalnya. Alasannya sangat jelas, karena mereka tinggal di dekat tempat kerjanya, pasukan oranye tadi pasti akan bekerja dengan sungguh-sungguh menjaga lingkungannya tetap bersih karena merasa memiliki lingkungannya.

news.okezone.com
news.okezone.com

Penataan kawasan kumuh juga menjadi fokus kerja Ahok, banyak warga yang tinggal di daerah slum area dipindahkan atau digusur dari tempat tinggal sebelumnya. Tidak seperti di zaman Ali Sadikin, para warga tadi  diberikan alternatif karena disediakan rumah susun dengan kualitas baik. Sehingga mereka bisa tinggal dengan aman dan nyaman di sana dengan uang sewa yang relatif rendah.

Tetapi banyak pertentangan tentang penertiban, karena banyak di antara warga ada yang belum mendapat surat penggusuran dan tidak mampu membayar iuran. Kita tidak bicara warga yang tidak menerima uang ganti rugi karena banyak diantara warga mendirikan bangunan di bantaran kali dan pinggir rel, itu merupakan wilayah ilegal dan peruntukannya juga untuk kawasan hiaju bukan pemukiman.

Kali-kali di Jakarta juga di keruk untuk mengurangi banjir yang tiap tahun melanda DKI. Bahkan, sungai yang dulunya dipenuhi oleh sampah sekarang airnya telah bergerak bebas. Bukan hanya kali, Ahok juga menyiapkan trobosan untuk membangun taman di setiap kelurahan di Jakarta. Hal ini memang di butuhkan karena Jakarta kekurangan lahan terbuka hijau sebagai tempat berinteraksinya warga dan menjadi tempat resapan air.

www.merdeka.com
www.merdeka.com

Pembangunan jalan layang tol dan non tol juga terus dikebut untuk mengurangi kemacetan yang selalu menjadi rutinitas di jalanan Jakarta. MRT sebagai model transportasi baru di Jakarta juga terus dikebut pengerjaannya tetapi sayangnya MRT tidak bisa menyambut datangnya Asean Games karena Ahok telah mengkonfirmasi bahwa pengerjaannya masih panjang. Beda dengan Foke sapaan Fauzi Bowo, Ahok lebih senang membeli bus dengn kualitas standart Eropa ketimbang membangun jalur baru bagi Transjakarta. Hal tersebut memang dibutuhkan mengingat bus yang ada sebelumnya belum mampu menampung membeludaknya warga setia pengguna TJ.

Kegemilangan Ahok membuat beberapa parpol gemetar, mereka berlomba menjegal langkah Ahok dalam pemilu 2017 nanti. Ditambah dengan hasil jejak pendapat di berbagai lembaga survei menunjukan popularitas Ahok masih mengungguli beberapa calon gubernur DKI selanjutnya. Dengan kekuasaan yang dipegangnya sebagai Dewan Perwakilan Rakyat mereka dengan mudahnya membuat peraturan baru yang “klise” untuk menjegal langkah penantang kuat dari jalur independen tadi. Mulai dari deparpolisasi hingga revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Mengapa kebijakan DPR itu disebut pelemahan? Karena tidak ada urgensi yang mengharuskan UU tersebut untuk direvisi kemudian secara tidak sadar pemilu merupakan bentuk keberadaan partai politik, para anggota DPR yang ada di senayan merupakan produk dari partai itu sendiri sehingga kepentingan partai sangat menempel erat dalam kinerja para anggota tersebut. Alibi anggota dewan yang menginginkan revisi itu karena merasa timpang dengan peraturan bagi parpol untuk mencalonkan calonnya di pemilu.

Jika berpikir secara rasional, parpol memilii jaringan luas dalam dunia perpolitikan dan memiliki SDM lebih banyak ketimbang jalur independen sehingga pekerjaan parpol lebih ringan di bandingkan jalur independen. Sehingga alasan tidak seimbang tadi sangat tidak beralasan. Hadirnya jalur independen merupakan trobosan baru bagi masyarakat yang telah jenuh dengan politik praktis para wakilnya.

Bicara soal pemilu berarti kita berbicara soal demokrasi, yaitu sebuah sistem negara yang menitik beratkan pada keberadaan masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Nyatanya yang ada di Indonesia kekuasaan tertinggi berada di tangan politisi yang ironinya kita pilih sendiri, suara mayoritas masyarakat sering kali di abaikan itu juga menjadi alasan mengapa pelemahan itu di rasakan.

Kembali ke demokrasi dan pemilu, pemilu merupakan perlambang kekuasaan berada di tangan rakyat. Dengan kekuasaannya rakyat memilih calon pemimpinnya sesuai dengan hati nurani. Sehingga banyak kita jumpai kerumunan masa di jalanan berorasi mendukung atau menggugat keputusan KPU sebagai komisi penyelenggara pemilu karena merasa kecewa calonnya tidak menang. Bahkan sampai pada debat-debat kusir di warkop atau di jalanan mendiskusikan figur para calon pemimpinnya kelak.

Hingga tiba para warga bicara soal calon gubernur Jakarta 2017 dengan bintang utamanya yaitu Ahok.  Semuanya berbicara soal sepak terjang Gubernur yang menggantikan Joko Widodo karena Jokowi terpilih sebagai presiden Republik Indonesia menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.

Setiap orang memiliki pemikiran berbeda sehingga berbeda pula pandangannya terhadap cara pandangnya terhadap Ahok. Bagi yang tidak menyukai Gubernur Ahok mereka tak jarang menggunakan isu SARA sebagai alasannya.

Agama Ahok yang berbeda dengan mayoritas orang Jakarta menjadi yang pertama. Di Agama Islam, agama yang di anut mayoritas orang Jakarta pada intinya mengatakan bahwa pemimpin orang Islam harus dari agama yang sama. Sehingga haram hukumnya bagi mereka pemeluk Agama Islam untuk memilih Ahok. Padahal demokrasi tidak memandang agama, dan SARA adalah isu paling diharamkan dalam praktik demokrasi karena bisa memancing keributan dan dikenal dengan isu yang sangat sensitif.

opiniherry.blogspot.com
opiniherry.blogspot.com
Soekarno dalam pidato terkenalnya dan menjadi cikal bakal di sahkannya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa pada 1 Juni 1945 mengatakan bahwa sila pertama adalah kebangsaan Indonesia yang sarat dengan perasaan senasib sepenanggungan. Dengan kata lain ia ingin masyarakat Indonesia kelak menjadi masyarakat yang terikat satu sama lain karena mengingat perasaan senasib sepenanggungan.

Soekarno juga menjadikan sila ketuhanan berada di nomor lima karena dia berlasan yang sedang dicari merupakan sebuah falsafah bangsa bukan agama. Seakan Bung Karno tahu di tengah masyarakat yang heterogen isu SARA menjadi momok menakutkan. Kebangsaan sekaligus menjadi kunci kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pidatonya dia mengatakan “Kita tidak mendirikan Negara buat satu orang, satu golongan, tetapi buat semua sehingga dasar pertama untuk Negara Indonesia adalah dasar Kebangsaan. Kita mendirikan suatu Negara kebangsaan Indonesia, dasar kebangsaan bukan kebangsaan dalam arti sempit.

Kita bukan Cuma membicarakan bangsa, melainkan juga tanah airnya. Rakyat Minangkabau yang ada dimana-mana merasakan “kehendak akan bersatu” walaupun Minangkabau hanya sebagian kecil dari nusantara, demikian juga masyarakat Jogja, Sunda dan Bugis. Nationale staat meliputi seluruh wilayah Indonesia yang merupakan wilayah kesatuan. Dalam sejarah kita Cuma dua kali mengalami nationale staat yaitu di masa Sriwijaya dan Majapahit.

Di masa Mataram memang merdeka tapi tidak nationale staat. Orang Tiongha klasik tidak mau kebangsaan karena mereka memeluk paham Kosmopolitisme, tetapi untung ada Dr. Sun Yat Sen yang mengubah paham tersebut.”

Dalam pidato tersebut karena kubu Islam menolak keras pendapat Soekarno sehingga terjadi perdebatan keras antara kaum nasionalis dan agamais. Kubu agamais ingin bahwa Allah SWT sebagai Tuhan bagi pemeluk Agama Islam menjadi yang diutamakan. Perpecahan terjadi dalam sidang tersebut dan memaksa dibuatlah panitia sembilan yang bertugas membuat kerangka Pancasila dan disetujui oleh semua kubu yang hadir. Dari debat tadi saja sudah terlihat jelas betapa sensitifnya isu SARA jika dimainkan di dalam perpolitikan.

Jika boleh nyeleneh kita harus ingat dengan kepemimpinan Ali Sadikin, seorang gubernur yang harum namanya karena berhasil mewujudkan banyak proyek impian Bung Karno. Bukan hanya itu Bang Ali sapaan Ali Sadikin mampu menjadi pemimpin yang membawa Jakarta meningkatkan ekonomi dari sektor manufaktur, padahal Indonesia pada waktu itu pendapatan utamanya adalah menjual Sumber Daya Alam dalam hal ini adalah minyak.

Tambang minyak menjadi tombak ekonomi Indonesia dengan pemodal terbesarnya yaitu Amerika. Menurut buku yang berjudul “Teror Orde Baru” sejak tahun 1912 Amerika telah merambah minyak mentah di Indonesia.

www.republika.co.id
www.republika.co.id
Ada satu langkah kontroversial yang dilakukan oleh Bang Ali, gubernur dengan latar belakang tentara ini melegalkan judi dan prostitusi sebagai salah satu pendapatan daerah. Bahkan pajak hasil perjudian tadi menyumbang 29% pendapatan DKI menurut buku yang berjudul “Jakarta Sejarah 400 Tahun”. Nantinya pajak tadi di buat untuk membangun jalan-jalan protokol di Jakarta seperti Jalan Pramuka dan Jalan Pemuda. Bukan hanya membuat jalan baru, pelebaran juga di lakukan di sejumlah ruas seperti Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk kemudian Jalan Kramat dan Salemba.

Kembali lagi, jika boleh nyeleneh berjudi itu haram bagi Umat Islam, lalu apakah boleh kita menikmati sesuatu yang kita tahu awalnya dari sesuatu yang haram? Sehingga uang hasil pencurian seperti yang di lakukan oleh Si Pitung itu tidak diperbolehkan?

Selain soal agama, ras Ahok juga sering diserang. Etnis Tionghoa yang disandangnya menjadi bumerang baginya untuk sebagian orang. Bahkan ketika kasus korupsi di proyek reklamasi teluk Jakarta menyeruak, Ahok menjadi sasaran karena mereka berasal dari ras yang sama.

Penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan atau biasa disebut stereotip belum tentu benar. Bahkan banyaknya pertumpahan darah yang terjadi di Indonesia merupakan ulah pandangan seperti ini.

nationalgeographic.co.id
nationalgeographic.co.id

Mulai dari tumpahnya darah Orang Tionghoa tahun 1740 karena Etnis Tionghoa pada saat itu meminta kenaikan upah penjualan gula kepada VOC, tetapi mereka malah dihalau oleh para tentara. Kemudian sikap represif tentara kepada Etnis Tionghoa menyebar di dalam maupun di luar tembok Batavia. Orang Pribumi juga ikut dalam pembunuhan massal kali ini. Kecemburuan Ekonomi menjadi penyebab utama tersulutnya emosi Orang Pribumi, mereka melihat Etnis Tionghoa lebih makmur.

Lebih jauh lagi ketika Indonesia dilanda haru biru karena kemerdekaan ada di tangan, Presiden Pertama Soekarno mendapat goncangan politik hebat baik di dalam maupun di luar negri. Soekarno jatuh dari kursi kepemimpinannya akibat peristiwa super semar atau surat perintah sebelas maret yang menyatakan penunjukan Soeharto menjadi presiden menggantikan dirinya.

Rezim berganti, aliran komunis yang menjadi aliran pembawa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan dihapuskan. Mungkin ini bentuk kealpaan orang dulu mengenai sejarah pemikiran tokoh penting indonesia mulai dari Soekarno hingga Tan Malaka. Bahkan sekarang ketakutan akan PKI masih terjadi mengingat baru-baru ini semua lambang PKI di ambil.

Soeharto segera melenyapkan salah satu paham yang bersejarah bagi Indonesia. Beberapa orang ditangkap dan dihilangkan. Masyarakat yang termakan oleh propaganda rezim Orde Baru membunuh semoa orang yang dinilai berafiliasi dengan PKI. Walaupun peristiwa ini tidak terlalu dirasakan di Jakarta. Tetapi di kampung-kampung seperti yang digambarkan di dalam banyak buku, sungai berubah warna menjadi darah. Ormas-ormas yang mengatas namakan agama juga ikut membunuh walaupun sebenarnya semua agama tidak mengizinkan umatnya untuk membunuh.

Ketika menjungkalan Soeharto dari kursi kepresidenan huru-hara juga terjadi di berbagai pelosok negri. Keberutalan masyarakat meninggi akibat ekonomi bangsa kian menukik, alhasil masyarakat mulai mencuri dan membakar beberapa toko. Bukan hanya itu, seperti tahun 1740 Etnis Tionghoa menjadi pusat amukan warga. Mereka merasa ketimpangan ekonomi semakin terlihat karena kebanyakan dari orang keturunan Tionghoa memiliki kemakmuran lebih tinggi dibanding warga pribumi.

hubpages.com
hubpages.com

Stereotip merupakan salah satu peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Sejak dahulu Belanda selalu membedakan suku dan agama. Belanda bukan tanpa alasan melakukan hal tersebut, mereka menginginkan kepada seluruh koloni yang ada untuk saling curiga satu sama lain sehingga pemberontakan untuk menentang keberadaan VOC semakin minim. Lalu apa bedanya kita yang sekarang masih mempertentangkan SARA dengan Kompeni?

Demokrasi memang membebaskan kita untuk bersikap menilai sesuatu dan bertindak, tetapi semua ada batasannya dan batasan itu tertuang dalam tubuh Pancasila serta di fokuskan di dalam Undang-Undang. Untuk itu seharusnya kita merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Kebebasan yang di berikan oleh demokrasi harusnya di manfaatkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.

Jujur saja sebagai seorang calon pemilih, kita bisa jenuh dengan kampanye-kampanye ke arah negatif bahkan tak jarang mengandung fitnah. Sebagai pemilih kita harus arif dalam bersikap dan berpolitik. Kita harus cerdas dalam berdemokrasi untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik SARA yang terus terjadi menjelang pemilu. Mari kita berpikir cerdas dan menjadi pemilih cerdas untuk pemilu, siapapun calonnya tentu saja kita harus tetap mengkritisi. Bukan kritik tanpa aturan tapi kritikan untuk membangun DKI.

Lebih menyedihkan lagi banyak sekali Isu SARA yang diunggah oleh banyak kalangan masyarakat di Indonesia. Masyarakat harusnya memiliki pemahaman soal bahaya media massa jika digunakan untuk hal-hal negatif mengingat karakteristiknya. Media massa memiliki dampak yang sangat luas kepada seluruh penikmatnya. 

Media massa memiliki krakteristik tersendiri yang paling utama ada dua, yaitu dengan waktu penyiaran yang bersamaan dan cakupannya tersebar luas, pengaruhnya sangat besar untuk masyarakat. Dengan kelebihan tersebut tak heran para politisi pemilik modal besar berani membangun media masanya sendiri. Belum lagi kita melihat media sosial, disana banyak beredar berita-berita bohong atau “hoax” banyak dari kita yang langsung termakan oleh efek media tadi.

Bayangkan jika kita selalu membombardir media masa dengan  berita-berita mendiskreditkan seseorang, memfitnah dan mempertentangkan SARA? Perpecahan akan ada di depan mata, karena Indonesia bukan milik satu orang saja tapi banyak orang dengan latar belakang berbeda.

Untuk itu alangkah baiknya kita sebagai warga menjaga kerukunan antar masyarakat dengan cara saling menghormati satu sama lain. Seperti yang sudah dikatakan oleh Bung Karno dalam sila pertama yaitu Kebangsaan Indonesia, harusnya kita jadikan pegangan mengenai betapa pentingnya persatuan dan alasan masyarakat untuk bersatu walau berbagai perbedaan tumpah di setiap langkahnya menuju kemerdekaan.

Munculnya Gereja Katerdral dan Mesjid Istiqlal maupun Kelenteng di daerah Palmerah dengan mesjid di depannya menjadi bukti betapa pendahulu kita memberikan pondasi keberagaman sebagai persatuan bagi negeri ini. Negeri ini bukan lahir karena kita satu tetapi bersatu, itulah inti Bhinneka Tunggal Ika. Saya akan mengutip kata-kata seorang rekan saya.

“Ibarat taman dengan berbagai warna di dalamnya, akan sangat membosankan jika hanya ada satu warna bunga di sana, itu lah islam”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun