Rezim berganti, aliran komunis yang menjadi aliran pembawa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan dihapuskan. Mungkin ini bentuk kealpaan orang dulu mengenai sejarah pemikiran tokoh penting indonesia mulai dari Soekarno hingga Tan Malaka. Bahkan sekarang ketakutan akan PKI masih terjadi mengingat baru-baru ini semua lambang PKI di ambil.
Soeharto segera melenyapkan salah satu paham yang bersejarah bagi Indonesia. Beberapa orang ditangkap dan dihilangkan. Masyarakat yang termakan oleh propaganda rezim Orde Baru membunuh semoa orang yang dinilai berafiliasi dengan PKI. Walaupun peristiwa ini tidak terlalu dirasakan di Jakarta. Tetapi di kampung-kampung seperti yang digambarkan di dalam banyak buku, sungai berubah warna menjadi darah. Ormas-ormas yang mengatas namakan agama juga ikut membunuh walaupun sebenarnya semua agama tidak mengizinkan umatnya untuk membunuh.
Ketika menjungkalan Soeharto dari kursi kepresidenan huru-hara juga terjadi di berbagai pelosok negri. Keberutalan masyarakat meninggi akibat ekonomi bangsa kian menukik, alhasil masyarakat mulai mencuri dan membakar beberapa toko. Bukan hanya itu, seperti tahun 1740 Etnis Tionghoa menjadi pusat amukan warga. Mereka merasa ketimpangan ekonomi semakin terlihat karena kebanyakan dari orang keturunan Tionghoa memiliki kemakmuran lebih tinggi dibanding warga pribumi.
Stereotip merupakan salah satu peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Sejak dahulu Belanda selalu membedakan suku dan agama. Belanda bukan tanpa alasan melakukan hal tersebut, mereka menginginkan kepada seluruh koloni yang ada untuk saling curiga satu sama lain sehingga pemberontakan untuk menentang keberadaan VOC semakin minim. Lalu apa bedanya kita yang sekarang masih mempertentangkan SARA dengan Kompeni?
Demokrasi memang membebaskan kita untuk bersikap menilai sesuatu dan bertindak, tetapi semua ada batasannya dan batasan itu tertuang dalam tubuh Pancasila serta di fokuskan di dalam Undang-Undang. Untuk itu seharusnya kita merefleksikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Kebebasan yang di berikan oleh demokrasi harusnya di manfaatkan dan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Jujur saja sebagai seorang calon pemilih, kita bisa jenuh dengan kampanye-kampanye ke arah negatif bahkan tak jarang mengandung fitnah. Sebagai pemilih kita harus arif dalam bersikap dan berpolitik. Kita harus cerdas dalam berdemokrasi untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktik SARA yang terus terjadi menjelang pemilu. Mari kita berpikir cerdas dan menjadi pemilih cerdas untuk pemilu, siapapun calonnya tentu saja kita harus tetap mengkritisi. Bukan kritik tanpa aturan tapi kritikan untuk membangun DKI.
Lebih menyedihkan lagi banyak sekali Isu SARA yang diunggah oleh banyak kalangan masyarakat di Indonesia. Masyarakat harusnya memiliki pemahaman soal bahaya media massa jika digunakan untuk hal-hal negatif mengingat karakteristiknya. Media massa memiliki dampak yang sangat luas kepada seluruh penikmatnya.
Media massa memiliki krakteristik tersendiri yang paling utama ada dua, yaitu dengan waktu penyiaran yang bersamaan dan cakupannya tersebar luas, pengaruhnya sangat besar untuk masyarakat. Dengan kelebihan tersebut tak heran para politisi pemilik modal besar berani membangun media masanya sendiri. Belum lagi kita melihat media sosial, disana banyak beredar berita-berita bohong atau “hoax” banyak dari kita yang langsung termakan oleh efek media tadi.
Bayangkan jika kita selalu membombardir media masa dengan berita-berita mendiskreditkan seseorang, memfitnah dan mempertentangkan SARA? Perpecahan akan ada di depan mata, karena Indonesia bukan milik satu orang saja tapi banyak orang dengan latar belakang berbeda.
Untuk itu alangkah baiknya kita sebagai warga menjaga kerukunan antar masyarakat dengan cara saling menghormati satu sama lain. Seperti yang sudah dikatakan oleh Bung Karno dalam sila pertama yaitu Kebangsaan Indonesia, harusnya kita jadikan pegangan mengenai betapa pentingnya persatuan dan alasan masyarakat untuk bersatu walau berbagai perbedaan tumpah di setiap langkahnya menuju kemerdekaan.