Mohon tunggu...
Diaz FitrianaYulitasari
Diaz FitrianaYulitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi memasak dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Unik di Kota Ngawi Perang Nasi

20 Maret 2023   10:06 Diperbarui: 20 Maret 2023   10:10 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngawi dikenal dengan beragam tradisi, makanan khas, tempat mistik, dan tempat bersejarah. Salah satu tradisi yang terkenal di ngawi adalah Tradisi perang nasi atau Bahasa jawanya perang sego yang awalnya Bernama nyadran atau bersih desa, tradisi perang nasi berasal dari desa Pelang Lor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten ngawi, jawa timur. Tradisi ini dilaksanakan setelah panen kedua setiap tahunnya dan dilaksanakan pada hari jum at legi bertempat di sendang tambak. 

Tradisi perang nasi merupakan warisan nenek moyang yang dilakukan secara turun temurun, awal mula munculnya perang nasi itu disebabkan karena para warga yang tidak bisa tertib dalam mengambil nasi yang akan dibagikan, sehingga terjadilah aksi saling berebut nasi dan saling lempar-lemparan dan terjadi hingga sekarang. Tujuan dilaksanakan tradisi perang nasi ini adalah sebagai tanda syukur atas hasil panen warga, selain itu juga bertujuan untuk tolak balak para warga desa.

Dalam tradisi ini pertama yang dilakukan adalah para warga secara sukarela membawa nasi dan dikumpulkan dibawah pohon besar seperti trembesi. Nasi disusun menyerupai tumpeng, nasi tersebut dibungkus dengan daun pisang atau daun jati karena didaerah tersebut masih banyak pohon jati, nasi tersebut biasanya berisi lauk yang terdiri dari mie, sayur tahu, sayur kentang , dan rempeyek. Setiap tahunnya nasi yang terkumpul jumlahnya berbeda, semakin banyak jumlah nasi berarti semakin banyak pula hasil panen para warga. Sebelum prosesi perang nasi dimulai, kepala desa beserta sesepuh dan diiringi warga yang berpakaian pesilat membawa nasi tumpeng beserta lauk pauk dan ayam panggang menggarak para warga untuk membawanya menuju sendang tambak. Setelah nasi dikumpulkan kepala desa nyekar disebongkah batu hitam sebagai petilas yang terdapat di sendang tambak, selanjutnya para sesepuh dan warga desa berkumpul dan memanjatkan doa atau biasa disebut istighosah.

Mulai dari anak-anak hingga orang tua ikut meramaikan tradisi ini, walaupun tradisi ini dilakukan aksi saling melempar tetapi mereka melakukannya dengan canda tawa dan juga setelah perang nasi itu berlangsung para warga tidak ada yang marah atau saling dendam karena mereka melakukannya hanya untuk bersenang- senang. Namun tidak semua nasi digunakan untuk perang nasi karena ada Sebagian ibu-ibu yang berinisiatif menggambil nasi yang masih bersih dan masih terbungkus daun pisang untuk dibawa pulang dan biasanya dibuat krupuk nasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun