"Tanpa bekerja, semua kehidupan akan membusuk tetapi ketika bekerja tanpa jiwa maka kehidupan akan tercekik dan mati." -- Albert Camus.
Layaknya sebuah roller coaster, setiap insan pasti pernah rasanya berada di puncak dan pernah pula berada di jurang. Namun tidak jarang yang berada di tengah-tengah. Begitulah hidup. Kadang di atas kadang di bawah. Kadang manis kadang pahit juga.Â
Namun, pernah nggak sih terfikir, 'kok hidupku gini-gini aja ya?' 'duh dia kok hidupnya enak banget ya' dan hal-hal random semacam itu? Sebenarnya poinnya bukan di pernah atau enggaknya, namun untuk apa berfikiran seperti itu? Apa yang kita lihat enak belum tentu orang yang mengalaminya merasa enak, dan belum tentu apa yang kita pandang jelek aslinya juga jelek.Â
Saat orang bilang, 'enak ya jadi kamu bla bla bla', padahal mereka ga tau apa yang sebenernya terjadi pada kita.
Artikel kali ini saya akan bercerita sedikit tentang kemisikinan, lebih tepatnya gap antara si miskin dan si kaya. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin sudah bukan lagi hal yang asing di telinga kita. Terlebih adanya pandemi sejak dua tahun silam semakin memperparah kesenjangan sosial di Indonesia.Â
Saya ingat betul kata yang dilontarkan oleh ibu saya, jika pandemi ini membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Ya, memang itu kebenarannya. Namun bukan berarti kita tidak berusaha untuk merubah nasib kita kan?
Kemiskinan bukanlah suatu persoalan biasa, tapi belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengentas kemiskinan. Pemerintah bukan tidak melakukan bentuk penangggulangan kemiskinan di Indonesia, namun apakah program tersebut mampu merata ke seluruh target? Jawabannya tentu tidak.Â
Program Keluarga Harapan atau PKH yang digadang-gadang mampu menjadi salah satu program bantuan sosial kepada keluarga miskin rupanya juga tidak membantu 100%. Banyak penerima program PKH yang hidupnya masih stagnan. Tidak ada perubahan signifikan yang berujung penyelewengan dana PKH.
Pada hari Selasa, 17 Mei 2022, saya berkunjung ke rumah salah satu warga di lingkunganku yang tidak menerima dana PKH padahal bisa dibilang hidupnya belum sepenuhnya mapan. Namun tidak bisa dikatakan miskin pula, lebih tepatnya adalah keluarga sederhana. Ialah keluarga Mbah Parno, seorang pekerja serabutan.
 Rumah beliau berada tepat di depan rumahku, hanya terhalang pos ronda dan kebun jahe. Mbah Parno tinggal bersama istri dan anak bungsunya. Istrinya bernama Lik Tuyati dan anaknya bernama Wisidah berusia lima tahun. Mbah Parno sebenarnya mempunyai tiga orang anak, anak pertama dan keduanya berkeluarga dan sudah mempunya rumah masing-masing.
Pekerjaan yang sering beliau tekuni yakni menerima pesanan mebel. Biasanya mebel yang sering beliau buat adalah lemari, kursi dan meja, pintu, jendela, serta pondasi rumah. Pondasi rumah yang dimaksud di sini adalah beliau kerap diminta tenaganya untuk membuat soko atau tiang untuk rumah.Â