Ia duduk dalam kebisuan
sorot matanya tajam
menatap masa depan yang
agak kurang sopoan. Ia merasa
bahwa dirinya perlu tahu sebab apa ia
merasa kehilangan.
Di tangan kirinya, ia menggenggam
seekor burung yang ia anggap
mengacau separuh hidupnya.
Burung itu tentu tahu kalau dirinya dianggap pengganggu
olehnya. Sementara pagi si teman burung
pergi entah kemana.
Di hadapan sebuah cermin, dadanya meledak-ledak
menginginkan hal yang telah lama pupus ditelan
pagi si teman burung itu. Keinginan yang tiba-tiba itu
telah menyeludupkan kerinduan kedalam tubuhnya,
rindu akan kekal dan ilegal didalam tubuhnya.
Ia sering menatap lampu yang suka meredup itu.
Diasahnya waktu sebagai pisau belati, sesekali
ia ingin membunuh keragu-raguan yang membelenggunya
itu dengan sebilah waktu.
Sepasang telinganya sering digunakan untuk
mendengar berkali-kali kalimat ini
yang fana adalah waktu
kita abadi*
namun tidak pernah didengar lanjutannya.
Dipenjarakannya sebuah kenangan yang
sering keluar masuk kedalam dan mengacaukan
ingatannya yang mulai sepuh dan rapuh.
Ia mencintai ingatan itu. dan satu-satunya
yang ia anggap saksi untuk suatu nanti.
2018
*Sapardi Djoko Damono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H