Mohon tunggu...
Dias Ashari
Dias Ashari Mohon Tunggu... Penulis - Wanita yang bermimpi GILA, itu akuuu..

Mantan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Kemiskinan: Masalah Mentalitas dan Pola Pikir

15 Desember 2023   11:00 Diperbarui: 15 Desember 2023   11:12 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan menjadi permasalah utama yang dialami hampir semua negara, terlebih jika itu negara yang masih berkembang salah satunya Indonesia. Berdasarkan data yang dipublikasikan melalui berita resmi oleh Badan Pusat Statistika pada bulan Maret 2023 jumlah kemiskinan di Indonesia mencapai 25,90 juta jiwa. Faktor penyebab kesmiskinan di Indonesia tentu sangat beragam. Dimulai dari sedikitnya peluang lapangan pekerjaan, pemulihan ekonomi pasca wabah covid hingga permasalahan mentalitas dan pola pikir dari individu yang dilabeli kata miskin.

Perkembangan teknologi dan informasi yang tidak bisa dielakkan tentu menjadi salah satu komponen yang mempengaruhi menyempitnya lapangan pekerjaan. Hari ini beberapa peran manusia sudah bisa digantikan oleh teknologi AI (Artificial Intelligence). Selain pekerjaan lebih cepat terselesaikan juga mengurangi peluang terjadinya konflik antara atasan dengan bawahan.

Selain itu dampak wabah covid 19 sempat berperan sebagai faktor meningkatnya kemiskinan di negara Indonesia. Terhambatnya mobilitas manusia dalam melakukan produksi dan distribusi menjadikan laju perputran ekonomi menjadi terhambat. Berapa banyak jumlah karyawan yang mendapat PHK dari perusahaan dan hingga detik ini belum mendapat kembali pekerjaannya tersebut. Berbagai macam kebijakan yang sempat diterapkan dalam masa wabah cukup banyak mempengaruhi sistem pekerjaan di hari ini.

Kedua faktor diatas tentu tidak bisa dihindari karena menjadi faktor yang berada diluar kendali manusia pada umumnya. Namun ada hal yang menarik terkait dengan faktor yang menyebabkan kemiskinan yang ditinjau dari sisi mentalitas dan pola pikir dari subjek kemiskinan itu sendiri.

Realita sosial memperlihatkan betapa banyak orang yang dikategorikan miskin karena kesehariannya hanya meminta belas kasihan orang lain. Namun siapa sangka dibalik peristiwa itu tersimpan fakta bahwa mereka memiliki rumah mewah di kampung halamannya bahkan ada yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi. Hal ini dikuatkan oleh data yang dikumpulkan oleh salah satu pemerhati dan juga peneliti yang konsen pada permasalahan pengemis dan juga anak jalanan. 

Dalam sebuah podcast yang di upload di channel KPI Studio, Dr. Henny Gustini Nuraeni, M.Ag sebagai narasumber menyinggung bahwa ada salah satu kampung di kota Bandung yang hampir semua masyarakatnya berprofesi sebagai pengemis. Dalam podcast tersebut disinggung ada salah satu pengemis yang sudah berhasil menyekolahkan anaknya hingga tingkat sarjana. Namun ketika anak tersebut sudah mampu dan sukses sehingga mereka berharap orang tuanya berhenti untuk menjadi pengemis. Kemudian sebuah jawaban mengejutkan datang dari seorang narasumber penelitian tersebut bahwa dirinya mengakui sudah nyaman berprofesi sebagai pengemis dan tidak ada niatan berhenti meski anak-anaknya sudah berhasil pada bidang tertentu.

Hal diatas menjadi fenomena yang miris ketika kemiskinan bukan lagi menyangkut isi perut tapi sudah merambah terhadap mentalitas dan pola pikir seseorang. Betapa banyak realitas sosial menampakkan kemiskinan mental dan pola pikir ini sudah merambah tidak hanya kepada masyarakat lapisan terbawah juga sudah mulai menyentuh masyarakat menengah ke atas.

Sesederhana ketika ada seseorang yang setiap harinya berdalih minta untuk di traktir orang lain bukan karena tidak mampu hanya saja ingin mendapatkan sesuatu yang gratis secara terus-menerus. Kemudian ditingkat kehidupan bermasyarakat banyak bantuan yang memang diperuntukkan untuk masyarakat kurang mampu namun tak kurang hak-hak tersebut terpotong ditengah jalan. Beberapa pengurus yang mengkoordinasikan bantuan tersebut ikut secara terang-terangan mengurangi bagian hak orang lain dengan dalih uang "cape". Pengurus mersa pantas megambil bagian tersebut karena dirasa sudah membantu administrasi hingga bantuan tersebut bisa turun ke masyarakat. Disinilah kemiskinan sudah menjalar kepada tingkat pola pikir.

Kemiskinan juga bisa tumbuh subur pada mentalitas seseorang. Berapa banyak interaksi sosial influencer yang dianggap melakukan flexing di media sosial dapat mempengaruhi gaya hidup pengikutnya. Seseorang yang merasa tidak memiliki harta dan selalu merasa kurang karena berusaha terlihat kaya dimata orang lain. Sangat jelas keinginan untuk terlihat kaya ini justru tidak sesuai dengan kemampuan finansial yang dimilikinya. Hingga pada ujungnya berani meminjam uang kepada pihak tidak resmi untuk memberi makan egonya. Berapa banyak yang pada awalnya memiliki finansial yang cukup stabil namun mental miskin tersebut merusak hingga menjadikannya benar-benar miskin secara finansial.

Upaya merubah dan mengganti budaya mental dan pola pikir miskin harus secara masif disosialisasikan. Terlibat dalam pendidikan finansial bisa menjadi alternative  untuk menghindari mentalitas dan pola pikir miskin. Meski tidak mudah merubah sebuah kebudayaan tapi pendidikan finansial menjadi investasi baik dimasa yang akan mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun