Udah baca part 1-nya belum? Kalo belum baca dulu gih sono. Udah? Oke deh. Silakan. Ini hikmah kentut yang berikutnya. Coba direnungkan lagi, kenapa kita bisa uring-uringan sama kentut orang lain, entah karena baunya yang seperti racun dunia, atau karena suaranya yang cetar membahana? Tapi, di sisi lain, kita merasa nyaman dengan kentut sendiri (nyaman?). Sejauh ini rasanya ga pernah tuh saya liat ada orang yang marah-marah sama kentutnya sendiri. Misal dia bilang “Eh, Tut (kentut maksudnya), lu kalo mau keluar mikir-mikir dong! Cari waktu yang tepat buat bunyi napa!”, atau orang bilang: “Eh, kali ini aromanya ganti ya, jangan terlalu menyengat, yang wangi apel aja… ”. Ngga, kan? Bahkan ketika pada puncaknya harus sampai masuk WC, ketika Sang Kentut ini bermetamorfosis (haiyoh) menjadi wujud yang lebih sempurna, menyublim menjadi benda padat, kita bisa menikmati aja sama baunya, bahkan mungkin dinikmati dan diresapi (kepalang jorok deh
).
KENAPA COBA? Jawabannya ada dua alasan. Pertama, karena kita memahami bahwa kentut ini hal yang biasa terjadi, berulang dan tidak perlu dianggap aneh lagi. Akhirnya ketika kita kentut, kita ga shock ataupun pingsan karena kok tiba-tiba ada yang keluar tanpa permisi dari belakang. Kitapun jadinya menikmati saja, se-‘wangi’ apapun aromanya, sekeras apapun suaranya. Jawaban yang kedua, kita bisa anteng-anteng aja karena kita yakin bahwa kentut ini cuma sementara, sebentar saja. Tidak ada orang kentut dengan durasi yang panjang. Tidak pernah juga ada orang yang mati gara-gara kentut. Malah justru orang itu ada yang mati gara-gara ga bisa kentut. Atau, ada orang yang ‘meriam’-nya rusak gara-gara kentut yang terlalu menggelegar. Ga ada, kan? Begitulah hidup. Dalam menghadapi suatu masalah, kesedihan, kesengsaraan, jika kita ibaratkan sebagai kentut, maka kita tidak perlu mengeluh, merana atau menderita. Karena kita yakin bahwa penderitaan itu adalah bagian dari romantika kehidupan itu sendiri. Kita merasa bahwa penderitaan apapun yang terjadi di dunia ini sebagai hal yang lumrah saja terjadi. Tidak ada yang aneh, karena justru kebahagiaan itu akan terasa indah jika diselingi dengan kentut *eh, penderitaan. Kemudian kita juga yakin bahwa penderitaan seberat apapun itu hanya sementara, jika kita ikhtiar dan selalu meminta pertolongan kepada Allah, maka penderitaan ini juga akan hilang kemudian berganti dengan kebahagiaan, Insyaallah. Ya, seperti kentut itu tadi, akhirnya kita menikmati saja. Toh itu hanya bagian dari dinamika hidup yang nantinya akan berakhir juga. Iya, kan? Maka, apapun yang terjadi dalam hidup ini, nikmati saja. Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (Al Insyirah [94]: 5). Jangan risau, jangan galau… Jangan ragu, jangan malu… KENTUT, PASTI BERLALU…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Filsafat Selengkapnya