Mohon tunggu...
Ni Ketut Tini Sri
Ni Ketut Tini Sri Mohon Tunggu... -

Belajar menulis tentang keseharian yang tertuang dalam kisah fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Langkah [Episode 5]

28 Desember 2011   01:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangan berakhir, Aku tak ingin berakhir Satu jam saja, Ku ingin diam berdua Mengenang yang pernah ada… Jangan berakhir, karna esok tak akan lagi Satu jam saja, izinkan aku merasa Rasa itu pernah ada… Jangan berakhir, karna esok tak kan lagi Satu jam saja, hingga kurasa bahagia Mengakhiri  segalanya... **

Tatapan mata mereka bertemu, hening. Tak ada kata yang terucap, tiada senyum yang tersungging. Sinar mata ke duanya telah bercerita beribu-ribu kisah. Kisah terpendam bertahun lalu, menghamburkan kerinduan yang teramat dalam.

Aira melangkah perlahan menuju ranjang putih itu tanpa sedikitpun melepaskan pandangannya dari wajah Bagus. Butiran bening pun tak kuasa ia tahan.

“Gus...” isak tangis Aira tumpah seiring di letakkannya kepalanya di dada Bagus.

Bagus membelai rambut kekasihnya itu dengan lemah, ia pun tak dapat menahan air mata yang telah siap tumpah di ujung kelopak matanya. Rindunya pada kekasih yang selama ini  ia dambakan mampu memberinya kekuatan lebih, meski ia harus merasakan sakit yang teramat, sangat!

“Gus... maafin Aira, andai waktu itu aku mau mendengar penjelasanmu, semua ini tidak akan terjadi! Maafin aku! Akuu...”

“Ra... sudahlah, tidak apa-apa. Jangan sedih gini, aku ingin sekali melihat senyummu.” Bagus berhenti membelai rambut Aira, diraihnya dagu gadis itu dengan tangan kurusnya.

Aira mengangkat wajah sembabnya yang penuh dengan airmata. Mereka bertatapan, Aira mempersembahkan senyum terbaiknya, meski ia tahu yang tampak hanyalah senyuman getir. Tak semanis senyum yang di harapkan oleh Bagus. Sejurus mereka hanya diam membisu. Perlahan Aira mendekatkan keningnya ke bibir kering kekasihnya itu. Bagus memejamkan matanya menahan nyeri di sekujur tubuhnya, menciumi kening Aira dengan penuh perasaan.

**

Meski Bagus telah tertidur pulas, Aira tak mampu memejamkan matanya sedikitpun. Tak hentinya Ia menatap wajah kekasihnya, seolah tak ingin terpisahkan lagi. Takut semuanya hanya mimpi, mimpi semu yang hadir di setiap malam-malam dingin yang selama ini menghampirinya.

Tiba-tiba angin dingin menyeruak masuk ke ruangan itu, Aira menoleh ke arah pintu yang setengah terbuka, ia bangkit dan menutup pintu itu sambil merekatkan sweater tipis yang ia kenakan. Aira terkejut! Dilihatnya Bagus tengah berusaha duduk dari ranjang tidurnya.

“Gus…? Mau ke kamar mandi ya?” dengan tangkas Aira membantu menopang tubuh Bagus yang ringkih, karena selama 4 bulan terakhir, Bagus hanya mengkonsumsi makanan cair.

“Ra...bosan di kamar terus, ingin jalan-jalan keluar, temani aku ya…”

“Ya udah, aku ambil kursi roda dulu, Kamu kuat duduk kan? Tunggu sebentar.”

Bergegas Aira mengambil kursi roda di sudut ruangan suster jaga. Oleh Aira, tubuh Bagus dipapah ke kursi roda, di kenakannya jaket birunya untuk Bagus dan di selimuti tubuh ringkih itu dengan selimut putih yang di sediakan oleh pihak rumah sakit. Dengan hati-hati Aira mendorong kursi roda itu keluar ruangan yang selama ini memenjarakan tubuh kekasihnya.

“Ra, aku ingin duduk di sana,” tunjuk Bagus pada sebuah kursi di tengah taman rumah sakit ini,

“Iiih...sakit-sakit, masih inget juga kamu dengan kebiasaan kita dulu...” sedikit tertawa kecil Aira mengomentari keinginan kekasihnya.

“Anginnya dingin, Gus...” kata Aira sambil memasangkan topi jaket birunya ke kepala Bagus. “Kita balik ke kamar aja yuuk, aku takut kamu nggak kuat, kamu kan belum sehat betul, Gus…”

Bagus tampak tak memperdulikan ucapan Aira. Dia menunjuk bulan sabit yang tengah bersinar di temani taburan bintang yang berkelap kelip.

“Ra… kamu ingat kan? Dulu kita sering ke pantai, malam-malam gini?”

“Hmmm...ingat. Aku masih ingat semua yang pernah kita lakukan dulu, Gus. Sedikitpun tak ada yang aku lupakan.” Desah Aira sambil melingkarkan tangannya di lengan Bagus. Direbahkan kepalanya di bahu Bagus, Bagus pun perlahan menjatuhkan kepalanya di atas kepala Aira.

“Sayang, aku boleh minta tolong?”

“Hmmm... “ sahut Aira dengan manja.

“Besok, kamu ke rumah Orang Tuaku, masih ingat gudang belakang tempat aku sering melukis dan menulis cerita untuk kamu kan?”

Aira mengangguk pelan sambil membenahi selimut yang membungkus tubuh Bagus.

“Di pojokan ada sebuah kotak kayu besar, besok kamu ambil barang yang ada di dalamnya ya...”

“Hmmm, emang barang apaan siih, kok kamu naruhnya di gudang itu?”

Bagus tersenyum tak menjawab. Senyum dingin yang buat Aira bergetar, namun Aira menepis pikiran buruknya.

“Udah malam, kita masuk yuuk” ajak Aira.

Bagus mengangguk, digenggamnya jemari Aira dengan erat sambil memandang sisa-sisa sinar bulan. Bagus menghembuskan napas panjangnya, perlahan melepas genggamannya dan tersenyum pada Aira.

**

“Mbak, mbak… mbak Aira!!” tubuh Aira di guncang-guncang dengan keras.

“Mmmmm…” Aira membuka matanya dengan malas, samar dia melihat Tasya tengah berdiri di hadapannya sambil menarik selimut yang ada di samping Aira.

Aira berusaha duduk, aneh? Aira merasakan tubuhnya sangat berat, perlahan ia beringsut bangun. Aira menoleh ke ranjang Bagus,

“Tidaaaaaak….nggak mungkiiiiin!!” jerit Aira histeris. Gelap! Aira merasakan bumi yang di pijaknya berputar sangat cepat.

**

Di temani Tasya dan kedua Orang Tua Bagus, Aira berjalan tertatih menuju gudang di belakang rumah Bagus. Aira tertegun lama memandang gudang tua itu.

Bayangan masa lalu berhamburan memenuhi pandangannya, tubuh Aira limbung. Dengan sigap Ayah Bagus, menahan tubuh Aira agar tak jatuh ke tanah. Dituntunnya Aira memasuki gudang tua itu…

Entah, kekuatan darimana yang menjalari tubuh Aira saat melihat kotak besar di pojok gudang itu, Aira melepaskan tangannya dari pelukan Ayah Bagus.

Di dekatinya kotak itu, dibukanya dengan sangat hati-hati. Aira terkesima! Begitu juga dengan yang lain. Nanar mata Aira menyapu seluruh benda-benda yang ada di dalam kotak itu, matanya yang sembab memerah kian mengecil di penuhi genangan air mata yang terus jatuh. Aira meremas baju putih indah yang ada di dalam kotak itu. Aira membisu.... tubuhnya luruh jatuh ke lantai.

***

Aira, cintaku...

Di matamu, mungkin Aku adalah laki-laki tak bernyali, tak memiliki harga diriAku pengecut! Pecundang! Aku tak mampu mempertahankan cinta putih kita. Teganya aku memberimu derita, Derita yang kini menyiksa jiwaku…

Aira... maafkan aku, aku tak kuasa menolak permohonan seorang ibu yang menangis meregang nyawa saat melahirkan aku. Aku terpaksa Ra... terpaksa memenuhi keinginan Ibu untuk menikahi saudara jauh kami. Wanita itu hamil di luar nikah, kekasihnya pergi mengingkari tanggung jawabnya.

Kamu salah... jika kamu menganggap aku lebih memilih harta daripada kamu... salah!! Walau mereka keluarga berada, aku tak pernah menyentuh uang mereka, tak pernah Ra! Aku berusaha sendiri, berusaha dengan ke dua belah tanganku.

Aku tak pernah goyah, aku semakin kokoh, semakin kuat mencintaimu… Kini, semua telah melihat kesungguhanku, kekuatan cintaku padamu. Aku memenangkan pertarungan ini, mereka kalah!

Aku berlari berusaha menemuimu, ingin segera mengungkapkan kabar gembira ini. Tapi kamu menghilang, Ra! Lenyap! Namun aku tak pernah lelah untuk terus mencari dan menemukanmu! Aku yakin, suatu saat nanti aku pasti menemukanmu!

Di sepanjang perjalanan itu, sedikit demi sedikit aku mengumpulkan benda-benda ini.

Yah... semua yang ada di dalam kotak ini, aku persembahkan untuk kamu. Untuk pernikahan kita... Jangan khawatir, aku menyiapkan ini semua dengan jerih payahku sendiri. Ra, Kamu ingat, aku senang melukis dan menulis.

Di waktu luangku, aku melukis memenuhi pesanan banyak orang dan novel-novel  yang ada di kotak ini adalah novel hasil goresan penaku.

Ra… kamu di mana? Setiap malam aku menatap sinar bulan.

Aku  tahu, kamu menyayangi malam dan rembulan. Hingga aku selalu bertanya pada bulan, pada gelap malam, “adakah mereka melihatmu? Tolong berikan aku pertanda dan petunjuk di mana dirimu berada?”

Mereka diam... hanya diam dalam senyuman misterius. Namun, aku tak pernah lupa berbisik pada mereka “Bulan... sampaikan rindu ini pada Airaku, Malam... sampaikan kata ini untuknya.”

Sayang, tunggu aku.  Tunggu cintamu….

# The end#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun