"Saya membawa semua dalam doa. Dan selalu ada saja jalan. Entah dari mana datangnya," katanya tersenyum.
Bu Supri bersyukur, ia sudah lama juga tergabung dalam sebuah komunitas kategorial di Keuskupan Agung Semarang. Sebuah komunitas yang bergerak nyata dan tidak mementingkan prosedur formal. Mengutamakan tindakan nyata dan mengabaikan seremoni. Bahkan juga menyantuni mereka yang bukan Katolik.
**
Sepeninggal suaminya Al. Walidjo, Bu Supri tinggal berdua dengan ibundanya Surahmi (86 tahun). Setelah anak semata wayangnya tinggal dan bekerja di Bekasi.
"Kalau malam ibu tahajud, saya juga bangun untuk mendaraskan rosario," tuturnya.
Ibundanya adalah seorang muslimah yang sampai usia lanjut masih sehat dan tekun melaksanakan sholat tahajud.
Maka jadilah daras-daras doa secara Islam dan Katolik memenuhi ruang-ruang rumah mereka. Seperti ungkapan lain dari Dr. Teilhard de Chardin, SJ: "Agama bukan hanya satu, ada ratusan. Spiritualitas adalah satu".
**
Pensiun dari SMK Pius X Magelang pada tahun 2013, setelah mengajar sejak tahun 1979, setelah sebelumnya diminta membantu mengajar di sebuah sekolah yang dikelola para Bruder CSA di Turi, Sleman, Bu Supri meyakini bahwa rahmat tidak akan pernah berhenti mengalir meski tantangan silih-berganti.
"Saya menyakini kuasa doa. Misalnya ketika kaki saya sakit karena osteoarthritis, saya juga doakan selain mengonsumsi obat-obatan: Tuhan sembuhkanlah kaki-Mu ini. Dan sekarang sudah semakin sembuh," sharingnya.
Dilahirkan di Magelang pada tahun 1958, kehadirannya di dunia dibantu neneknya Atmotaruno yang adalah seorang dukun bayi.