"Karena kalau masjid mengumandangkan adzan dzuhur, maka saya seperti diingatkan untuk segera bersiap mendaraskan Doa Malaikat Tuhan pukul 12.00. Begitu juga kalau masjid mengumandangkan adzan maghrib, maka saya segera bersiap Doa Malaikat Tuhan pukul 18.00," tutur Bu Supri.
**
Apa yang disampaikan Christiana Elisabeth Supriyati, S. Pd. mengingatkan atas apa yang disampaikan oleh Dr. Teilhard de Chardin, SJ, seorang imam, teolog dan filsuf kelahiran Orcines, Perancis pada tanggal 1 Mei 1881: "Agama adalah untuk mereka yang tidur. Spiritualitas adalah untuk mereka yang sudah bangun".
Ketika polemik tentang pengeras suara dari masjid bahwa volumenya yang keras dapat dianggap mengganggu, Bu Supri (demikian ia biasa dipanggil) justru melihat dari perspektif yang lain. Rasanya beliau membawanya pada level spiritual. Ia tidak merasa terganggu. Justru bersyukur karena rumahnya di sebuah kompleks perumahan berlokasi tidak jauh dari masjid. Yang dalam interval waktu tertentu mengumandangkan adzan, panggilan untuk melaksanakan ibadah sholat.
Alih-alih merasa terganggu, Bu Supri justru mensyukuri situasi itu. Memaknainya secara jernih, dan menjadikannya sebagai sebuah peneguhan dalam laku dan olah spiritualnya yang dihidupi sebagai seorang penganut Katolik.
**
Pun begitu ketika seseorang yang berpengaruh di gereja menyampaikan bahwa bantuan diprioritaskan untuk mereka yang aktif di gereja.
Alih-alih sedih atau kecewa, Bu Supri bersama dengan beberapa sahabatnya justru menggagas berdirinya Paguyuban Peduli Sesama.
"Lha, lalu yang akan ngopeni mereka nanti siapa?" daya kritisnya mempertanyakan.
Bu Supri menyadari bahwa ia tidak bisa menyelesaikan semua hal. Terlebih dalam usianya yang terus bertambah. Tetapi pengalaman itu juga seperti yang dikonklusikan oleh Dr. Teilhard de Chardin, SJ: "Agama memiliki seperangkat aturan dogmatik. Spiritualitas mengundang untuk memikirkan segala sesuatu, mempertanyakan semuanya".