"Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengkritik ucapan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal sosok pemimpin yang layak dipilih. Jokowi sebelum menyinggung soal pemimpin berambut putih dan keriput yang sebaiknya dipilih oleh masyarakat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024."
"Kamhar menilai ucapan Jokowi itu sebagai pembodohan kepada masyarakat. Dia menyatakan tak ada satu pun literatur yang bisa menyatakan bahwa rambut putih dan keriput sebagai ciri pemimpin yang mengetahui penderitaan dan memperhatikan rakyat."
Â
**
Kalau saja pada cerita pertama, misalnya, si ibu marah kepada Sinuhun, mungkin akan banyak hal negatif yang menimpa. Setidaknya tidak ditemukan jalan keluar. Itu paling minimal.
Tetapi karena si ibu cukup rendah hati dan mau menerima masukan, maka masalah terpecahkan. Dalam pendampingan Prof. Selo, yang oleh Kompas dicatat sebagai Bapak Sosiologi Indonesia.
Pada kasus kedua, Jokowi pasti lebih banyak dipahami sebagai politikus alih-alih sebagai narasumber. Sehingga Partai Demokrat merasa perlu menanggapi dengan cepat dan tangkas. Meski, bagi saya, yang tertampilkan kemudian adalah kedangkalan cara berpikirnya.
Bila dan konteks "sanepa", maka saya setuju dengan Presiden Jokowi. Berambut putih dapat dimaknakan sebagai yang mau berpikir keras dan cermat. Syukur-syukur bijaksana.
Muka yang berkerut dapat dipahami sebagai yang "bahkan tidak memedulikan dirinya sendiri". Mencurahkan pikiran dan akal-budi untuk bangsanya.
Maka, tanggapan Partai Demokrat yang memakai kutipan diksi "literatur" justru menampakan tidak literatifnya tanggapan itu. Tidak saja bagaimana cara menyampaikan, tetapi juga bagaimana disampaikan.
**
Bagaimana jika sosok yang dianggap dimaksud adalah Ganjar Pranowo? Wajahnya berkerut dan rambutnya memutih?
Bagi Ganjar diskusi dangkal tentang "rambut" putih dapat dengan sederhana dipupus: rambutnya disemir hitam. Selesai!