Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Don't Judge the Ambawang by Its Bipang"

13 Mei 2021   21:17 Diperbarui: 13 Mei 2021   21:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita pertama. Pagi ini bersama ke gereja untuk misa pagi. Misa pukul 07.30. Sebagai peserta yang on-time kami sampai di pelataran pukul 07.22.
 
Untuk kelas kami, ini termasuk bagus. Seringnya kurang 5 menit baru sampai. Untuk urusan hal-hal baik, 5 menit sering terlalu diperhitungkan. Saking perhitungannya sedemikian, ikut misa 1 jam 15 menit sering terasa lamaaa. Entah saking konsentrasinya. Entah saking kepanasannya setan-setan yang bersemayam di dalam diri.

Dua menit sebelum sampai di gereja, ada sekumpulan orang yang menyalakan petasan cukup besar. Di tengah jalan raya. Mungkin berdiameter 15 centimeter.

Karena tidak tahu, kami melaju biasa. Sampai beberapa orang berseru bahwa kami perlu berhenti dan mundur untuk memperpanjang rentang jarak. Untungnya petasan tidak jadi meledak.

Tapi yang lalu menjadikan tidak cukup paham adalah mengapa petasan dinyalakan di tengah jalan raya. Sementara orang-orang yang lebih tua melihat agak di kejauhan. Artinya orang-orang yang lebih tua mengijinkan hal tersebut untuk dilakukan. Hal yang dapat menimbulkan bahaya untuk spektrum yang lebih luas.

Cerita kedua. Saya mendengar namanya adalah Rama Yamto. Beliau memimpin misa hari ini. Yang menarik dari beliau adalah ekspresi raut mukanya yang cenderung datar. Meski sedang melucu. Duduknyapun terlihat santai. Tidak "jaim" meski sedang live-streaming.

Kursi yang cukup besar, menjadikan beliau lebih kecil terlihat. Tangannya disandarkan ke pegangan kursi sebelah kiri. Sekaligus menjadikan badannya miring sedemikian. Tambahan raut muka beliau yang terkesan datar. Sepertinya memikirkan sesuatu.

Benar saja. Pada sesi homili beliau membahas polemik bipang ambawang. Hebatnya, lengkap dengan ucapan versi Presiden Jokowi. Lengkap sampai pada penggalan kalimatnya.

Intinya, terlepas dari polemik tersebut, mudik adalah sudah merupakan peristiwa nasional. Yang mudik tidak hanya orang beragama x atau y. Semua akan mudik bila memungkinkan. Seperti halnya peristiwa lebaran yang adalah peristiwa hajatan nasional. Ada heterogenitas pada peristiwa lebaran. Ada inklusifitas juga. Maka makanannya bisa tidak hanya gudeg. Tidak hanya coto atau sate.

Jadi apakah disampaikannya perihal bipang adalah ketidaksengajaan atau kesengajaan?

Dari sudut heterogenitas dan inklusifitas peristiwa mudik, maka pernyataan tersebut adalah dapat memaknai itu. Terlepas dari banyaknya persepsi dan komplain. Tetapi secara konteks, kiranya tetap dalam kebersamaan peristiwa mudik. Tetapi rasanya begitu, sudut pandang tetap tidak akan pernah mungkin seragam.

Maka Rama Yamta yang rautnya terkesan datar seringkali, lalu juga menjadi salah satu favorit karena kekayaan sudut pandangnya dalam memaknai banyak peristiwa. Lebih melihat isi daripada kemasan. Karena anggur yang baru harus dimasukkan ke dalam kantong kulit yang baru supaya tidak koyak.

Karena sudut pandang yang segar dan terbuka diwadahi dalam pemahaman yang tidak tersekat dan terus menuju ke borderless.

Satu lagi, Rama Yamta pandai menembak titi nada. Sepertinya beliau tahu betul rentang nada yang dikuasainya. Sehingga nadanya terasa pas dan tidak memforsir urat leher tetapi otot perut. Dan tetap merdu.

Cerita ketiga. Karena juga sedang Lebaran, sepulang dari gereja sekalian "ujung". Mengunjungi saudara-saudara yang merayakan. Silaturahmi.

Pendek cerita, pukul 14.00 baru sampai di rumah. Makan ketupat. Opor ayam kampung. Rica-rica bebek. Sambal goreng. Say hello ke banyak saudara. Menyenangkan. Di beberapa rumah, saudara-saudara menyempatkan memegang rambut kriwil Daniel Lintang . Atau sekedar manepuk badannya yang lebih penuh karena di rumah selama masa pandemi.

Setelah juga melihat foto-foto Lebaran, saya sengaja mengambil foto keluarga Imron Rosadi. Saya senang melihat foto momen Lebaran ini. Seru. Otentik.

Bukankah begitulah keseruan keluarga? Ada yang merajuk. Ada menenangkan. Ada yang asik dengan pikirannya. Ada yang mempertanyakan. Ada juga yang kadang saling komplain.

Di atas semuanya, keluarga adalah perjalanan bersama. Tidak ada yang tertinggal di belakang. No-one left behind, that is the family means.

Selamat merayakan Lebaran semua sahabat. Sehat selalu. Kesejahteraan dan kelimpahan menyertai.

| Posong | 13 Mei 2021 | 18.05 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun