Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

TKP Para Teroris: Ketakutan, Kekhawatiran, dan Kepanikan

2 November 2020   15:45 Diperbarui: 2 November 2020   15:48 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Serangan mematikan di sebuah masjid di kota Christchurch, Selandia Baru terhadap umat yang sedang melaksanakan sholat berjamaah rasanya belum lama terjadi. Sekarang terjadi lagi di Katedral Notre Dame di Nice, Perancis, dimana tiga orang dipaksa meninggal. Salah satunya adalah Vincent Loques seorang petugas pelayanan di katedral tersebut. Satu lainnya diberitakan meninggal dengan leher yang dilukai sedemikan parah.

Semua pasti mengharapkan kekejian di Selandia Baru adalah yang terakhir terjadi. Sekarang harapan yang sama harus secara tragis diperbaharui kembali: Semoga kekejian di Katedral Notre Dame itu adalah yang terakhir terjadi.

Yohanes Sugandi saat ini bekerja sebagai tenaga las di sebuah bengkel konstruksi di bilangan Denggung, Yogyakarta. Sebelum menekuni pekerjaannya saat ini, Gandi, demikian ia biasa disapa, sempat melayani sebagai seorang koster. Koster adalah petugas yang ditunjuk dan menyatakan kesediaannya untuk melayani tataperibadatan di Gereja Katolik.

"Waktu itu mendapat honor lima puluh ribu rupiah per bulan. Harga bakso di warung Pak Kento masih seribu rupiah per mangkok," katanya mengawali perbincangan.

Saat ini ada yang menetapkan honorarium koster sebesar Upah Minimum Regional (UMR), lainnya menetapkan kebijakan tersendiri sesuai kemampuan finansial paroki. Dari sisi pendapatan, pekerjaan sebagai seorang koster tidak menjadi posisi yang menjadi incaran banyak orang. Terlebih mereka yang memiliki tanggungan membiayai dan menafkahi keluarga.

Total, Gandi bertugas melayani sebagai koster gereja selama empat tahun. Tiga tahun di Kevikepan Kedu, dan setahun di kota Semarang. Koster dalam konteks pengalaman Gandi tidak saja melayani tataperibadatan, tetapi juga bertanggung-jawab terhadap banyak kegiatan di gereja dan pastoran.

"Saya adalah ibu rumah tangga. Eh, bukan. Bapak rumah tangga," kenangnya sambil terbahak.

Sebelum menyiapkan kelengkapan tataperibadatan, Gandi menjerang air di awal pagi. Untuk minuman yang menghangatkan. Maklum gereja yang ia layani terletak di lereng gunung. Kabut sesekali datang di pagi hari. Air bersih melimpah ruah, sebuah kemewahan yang sulit didapatkan di kota besar yang penuh sesak.

Lalu Gandi menyiapkan perlengkapan ibadat. Seperti diketahui, ada banyak perlengkapan ibadat yang perlu dihapalkan dan dikuasai. Tidak boleh keliru. Karena tataperibadatan secara liturgis memakai aturan yang ketat selama ribuan tahun. Sebuah kekayaan khazanah budaya dalam Gereja Katolik.

Setengah jam sebelum ibadat pagi dimulai, Gandi akan menuju ke bawah lonceng. Menarik tali pengayun lonceng supaya dentang lonceng terdengar jelas. Mengirimkan penanda bagi yang hendak hadir pada liturgi ekaristi harian. Ia tidak boleh terlalu cepat menarik tali dan juga tidak boleh terlalu lemah untuk menghasilkan dentang lonceng yang nyaring.

Tarikannya perlu terukur dan dalam rentang yang tepat. Nyaring dentang lonceng akan merambati kerapatan udara pagi. Membawa kehangatan di udara yang dingin. Membawa harapan kepada mereka yang terbangun dengan banyak beban dan pergulatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun