Tulisan ini saya awali dari kerisauan atas sebuah paragraf di Mojok: "Di mata saya, Didi Kempot adalah sosok yang detail. Selayaknya orang-orang jelata yang gemar mengamati hal-hal yang kecil. Lagu-lagu yang ia bawakan selalu naratif."
Sungguh, paragraf itu membuat risau. Bukan karena (saya) memang orang jelata, tetapi karena penulisnya mengingkari dan menghianati kejelataannya sendiri.
Mari kita tengok. Kalau ia tidak mengamati hal-hal kecil, mengapa ia mencermati hal-hal kecil tentang Dionisius Prasetyo dan para penggemarnya?
Sungguh penulis di Mojok itu membuat saya risau. Ia memamerkan ketelanjangjelataannya secara terang benderang lalu mengingkarinya. Betapa jelatanya ia.
Orang jelata memang tidak ada pilihan lain kecuali mencari keindahan dari setiap detil yang mungkin tidak istimewa menurut penulis di Mojok itu: dalan anyar, kembang tebu, sewu kutho, banyu langit, sindap dan entah apa lagi lainnya.
Di luar keindahan itu, orang jelata harus terus berjalan dengan memeluk hati yang sudah terlanjur patah, remuk redam atau perasaan yang berserakan. Tidak banyak pilihan menjadi orang jelata.
Tetapi adakah keindahan yang melebihi nyanyian orang jelata?
Romantisme jalanan atau kembang tebu yang tertiup angin adalah alunan kejelataan yang ugahari. Seperti patah hati yang tidak dirasakan sebagai luka sampai ia sudah tidak mudah diobati.
Orang jelata adalah penyanyi yang menyanyikan kesedihan-kesedihan dengan gembira. Orang jelata adalah pelantun keindahan yang dibangun dari kesedihan dan kesesakan.
Maka Dionisius Prasetyo adalah laksana pelantun mazmur. Lagu-lagu yang menuliskan tentang kehidupan yang sesak, penuh luka dan penantian yang sangat panjang nyaris tidak nampak ujungnya.
Kematian Didi begitu mengejutkan seperti hilangnya nyanyian dari tengah hidup yang penuh luka. Begitu mengejutkan. Butuh 15 jam untuk dapat mengendapkan rasa duka, dan baru bisa mengungkapkan.