Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Gedung-gedung Rumah Ibadah Kosong

2 April 2020   07:07 Diperbarui: 2 April 2020   07:37 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika gedung-gedung rumah ibadah kosong, apakah ibadah lalu berhenti?

Dalam situasi normal, ritual ibadah dan tataliturgi mendapat porsi yang besar sepertinya.

Gedung-gedungnya semakin bagus. Menaranya semakin tinggi. Lonceng-lonceng berdentang tepat pada waktunya. Pengeras suara bersahutan di langit-langit. Umat berduyun-duyun memasuki rumah ibadah. Ketika sudah penuh, sebagian rela berada di emperan atau bahkan di halaman.

Tetiba, dalam waktu yang singkat, gedung-gedung itu kosong. Karpet-karpet digulung. Tempat-tempat air suci dikosongkan. Gereja pintunya dikunci. Kerumunan disimpulkan dapat menjadi tidak aman dan berbahaya.

"Mushola tidak dikunci, Mas?" tanyaku pada teman rapat di balai RT.

"Tidak dikunci, Pak. Tetapi warga kita sudah sadar untuk sementara waktu berdoa di rumah masing-masing," jawabnya.

Dalam banyak kabar, ibadah menemukan wujudnya yang mengharukan. Ada yang memasak lalu membagi-bagikan nasi bungkus kepada para pelaku ojek on-line yang terdampak. Ada yang membelibagikan masker secara cuma-cuma. Ada yang menyumbangkan alat pelindung diri.

Laku ibadah lalu menyebar ke jalan-jalan raya. Ke lorong-lorong rumah sakit. Ke ruang-ruang publik. Tidak ada lagi pertanyaan tentang agama yang dianut.

Liturgi Kemanusiaan. Demikian istilah yang saya buat. Liturgi Kemanusiaan tidak berhenti pada dinding-dinding pagar pekarangan gereja atau masjid. Liturgi Kemanusiaan menghapushilangkan sekat-sekat yang pada situasi normal nampak arogan berdiri meninggi.

Gereja Katolik mau tidak mau menyesuaikan dengan situasi. Berdamai dengan keadaan. Misa-misa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, melalui streaming. Basilika kosong. Katedral sepi. Gereja paroki ditutup. Kapel-kapel nampak lebih dingin.

Tetapi banyak hati yang menjadi lebih hangat. Lebih banyak terulur tangan-tangan kasih. Banyak senyum dibagikan.

Secara heroik, sebagian bergabung sebagai sukarelawan di rumah-rumah sakit. Kemarin ada kabar kakak-beradik meninggal akibat paparan di tempat mereka mengabdikan diri dan memberikan hati. Sirene ambulan lebih sering terdengar berlalu di jalan raya, membawa jasad-jasad ke tempat peristirahatan terakhir.

"Agama tertinggi adalah budi pekerti," kata Dalai Lama.

Kalimat itu menemukan kebenarannya pada hari-hari ini. Kebaikan tidak perlu ditaruh di tempat tersembunyi. Seperti dian tidak diletakkan di bawah gantang, tetapi di atas meja supaya sinarnya memenuhi dan menghangatkan seluruh ruang.

"Sebuah keluarga Kristiani dibantu logistik makanan oleh masjid kompleks. Mereka terindikasi ODP dan mengisolasi diri. Humanity works well," tulis sebuah cuitan di media sosial.

Masjid dan Gereja memang bukan bangunan fisik sejatinya. Mereka adalah tindakan-tindakan welas asih yang terus dilakukan dan dibagikan kepada sesama. Terutama pada situasi sulit seperti saat ini.

kan seluruh ruang.

"Aku sudah menikmati hidup yang indah. Berikan alat (medis) ini pada yang paling membutuhkan," demikian kalimat terakhir seorang ibu sepuh. Lalu ia meninggal. Ia memberikan dirinya bagi orang lain, seturut teladan Yesus, Si Burung Pelikan: memberikan dirinya lalu mati.

Pengorbanan tidak terkira para paramedis dan sukarelawan dalam banyak bentuk. Berjuang, berjibaku dengan resiko kematian.

Liturgi-liturgi Kemanusian sedang dilakukan, meski rumah-rumah ibadah tertutup pintunya.

| Prambanan | 2 April 2020 | 6.25 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun