Ketika gedung-gedung rumah ibadah kosong, apakah ibadah lalu berhenti?
Dalam situasi normal, ritual ibadah dan tataliturgi mendapat porsi yang besar sepertinya.
Gedung-gedungnya semakin bagus. Menaranya semakin tinggi. Lonceng-lonceng berdentang tepat pada waktunya. Pengeras suara bersahutan di langit-langit. Umat berduyun-duyun memasuki rumah ibadah. Ketika sudah penuh, sebagian rela berada di emperan atau bahkan di halaman.
Tetiba, dalam waktu yang singkat, gedung-gedung itu kosong. Karpet-karpet digulung. Tempat-tempat air suci dikosongkan. Gereja pintunya dikunci. Kerumunan disimpulkan dapat menjadi tidak aman dan berbahaya.
"Mushola tidak dikunci, Mas?" tanyaku pada teman rapat di balai RT.
"Tidak dikunci, Pak. Tetapi warga kita sudah sadar untuk sementara waktu berdoa di rumah masing-masing," jawabnya.
Dalam banyak kabar, ibadah menemukan wujudnya yang mengharukan. Ada yang memasak lalu membagi-bagikan nasi bungkus kepada para pelaku ojek on-line yang terdampak. Ada yang membelibagikan masker secara cuma-cuma. Ada yang menyumbangkan alat pelindung diri.
Laku ibadah lalu menyebar ke jalan-jalan raya. Ke lorong-lorong rumah sakit. Ke ruang-ruang publik. Tidak ada lagi pertanyaan tentang agama yang dianut.
Liturgi Kemanusiaan. Demikian istilah yang saya buat. Liturgi Kemanusiaan tidak berhenti pada dinding-dinding pagar pekarangan gereja atau masjid. Liturgi Kemanusiaan menghapushilangkan sekat-sekat yang pada situasi normal nampak arogan berdiri meninggi.
Gereja Katolik mau tidak mau menyesuaikan dengan situasi. Berdamai dengan keadaan. Misa-misa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, melalui streaming. Basilika kosong. Katedral sepi. Gereja paroki ditutup. Kapel-kapel nampak lebih dingin.
Tetapi banyak hati yang menjadi lebih hangat. Lebih banyak terulur tangan-tangan kasih. Banyak senyum dibagikan.