Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Kecil tentang Sekolah Kanisius

13 Maret 2020   12:26 Diperbarui: 13 Maret 2020   17:10 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Susah dipahami. Bagaimana mungkin sekolah dijagakembangkan dengan data rugi-laba bukan tidak dapat diprediksi tetapi malah sudah bisa diprediksi bakalan dan pasti minus hasilnya. Ini tentu berlaku di daerah-daerah yang cukup terpencil. Di kota-kota, nama besar Kanisus masih bergema.

Sementara di daerah-daerah, banyak sekolah Kanisius yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditutup karena kekurangan atau ketiadaan murid. Sebuah proses natural yang pada saatnya tidak bisa dilawan. Misalnya karena dampak urbanisasi atau keberhasilan program KB dan banyak lainnya. 

Di beberapa-tempat, para sepuh tidak rela kalau sekolah ditutup, lalu bersama dan berswadaya ikut menjaga kelangsungannya. Sebagian lainnya berpindah-tangan pengelolaan.

Ketika sekolah-sekolah negeri belum dapat diandalkan karena kualitas yang bisa dikatakan  belum baik dan sekolah swasta lain belum seberkembang seperti sekarang, Kanisius mengambil peran sebagai pionir. 

Mereka, para pengurus dan pemikir, tidak membiarkan generasi muda terpasung dalam ketidakberdayaan. Kanisius mengambil peran hebat itu. Membeli aset tanah, membangun sekolah, menempatkan guru, mendiklatkan para guru, menerima murid hanya berdasar keinginan mereka belajar dan membantu berproses sampai kelak mereka "menjadi orang". Khas Jesuit yang tidak setengah hati bila sudah memutuskan "nyemplung".

Menjadi orang? Ini pertanyaan yang kadang ditertawai. Kalau tidak jadi orang, memang mereka menjadi monyet? Begitu candaan yang seringkali "berbau" sarkatis.

The Whole Person. Ini adalah misi besar para Jesuit membangun pendidikan, salah satunya di Indonesia. Menjadi manusia seutuhnya. Sebuah frasa lain yang kelak menjadi diskusi besar di negeri ini. Dimasukkan dalam pelajaran di sekolah-sekolah. 

Para Jesuit sudah "babat-alas" di tempat-tempat yang "tidak masuk akal" secara bisnis. Mereka mengalirkan diskusi besar itu dengan mencurahkan keringat yang membasahi baju-baju mereka.

Apakah Kanisius secara bisnis saat ini sudah habis? Lalu digantikan dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta unggulan pada saat ini?

Bagi saya, Kanisius tidak pernah habis. Kanisius tidak pernah mati. Ia hanya bermetaformasa laiknya proses penjelmaan kupu-kupu bersayap besar dan indah bernama pendidikan di Indonesia.

Memang secara bisnis saat ini mereka harus sudah merelakan banyak asetnya untuk dikaji-ulang pemanfaatannya. Disamping menjagakembangkan yang masih dimungkinkan. Tetapi secara nilai, Kanisius adalah garam bagi negeri ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun