Kami sudah bersahabat lama dengan keluarga Mbak Suster Lestari Caritas. Bukan lama ding, sangat lama. Dari masa ukuran celana masih 28 dan sekarang sudah menjadi 34.Â
Sebuah pertambahan lumayan. Tidak begitu buruk. Dari jaman ibuke Mbak Suster masih sering keliru memanggil dengan mengira bahwa saya adalah Bambang, anak keduanya. Artinya kami adalah sama-sama kurus waktu itu.
Pernah lama tidak berkontak. Ketika saya mlipir ke tempat-tempat lain. Sampai suatu ketika kami bisa berkontak lagi. Mbak Suster mampir ke Posong. Daniel ikut Bambang main. Saya bisa mampir ke Gading Serpong, ke rumah Koko. Dan ajaibnya, after the years, saya baru dua kali ke Danan. Desa kecil di hulu sungai Bengawan Solo. Kampung sedulur-sedulur itu.
Pertama, ketika Bapak Ibu Sogimin merayakan pesta emas pernikahan dan, kedua, ketika Pak Sogimin kapundhut. Itupun saya telat ke sana.
Dengan keluarga Mbak Suster Sri ini saya agak merasa agak aneh. I fell close to them. Mbuh apakah mereka merasa begitu juga kah. Hehehehe, meski sekarang relatif jarang bertemu. Meski demikian ada perasaan tetap dekat dengan mereka.
Pengalaman sepertinya membuat saya merasa tidak cukup mudah untuk berakrab-ria. Tetapi semesta selalu berbaik hati. Membawapertemukan kami (bukan "saya" lagi) pada banyak sekali pengalaman yang meneguhkan.Â
Ada keluarga-keluarga yang menjadi bagian dekat keluarga kami meski (unfortunately) saya tetap merasa tidak cukup pandai merawat relasi dengan mereka.
Tetapi sungguh, they are close to us. Semesta yang membawa mereka kepada kami. Dalam cara-cara yang ajaib. Lalu semesta pula yang merawat relasi itu, bukan saya. Indeed. Dari kami hanya hormat dan sayang dalam dan dengan cara yang sangat terbatas.
Pak Sogimin, bapake Mbak Suster Sri, adalah seorang guru. Seingatan, beliau adalah guru di Sekolah Kanisius. Semoga ini tidak keliru.
Bambang pernah bercerita bahwa Pak Sogimin sangat rajin berternak, setelah paginya mengajar. Karena gajinya terasa tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Begitu sampai beliau pensiun. Danan adalah lokasi yang cukup "mencit". Koko, adik Bambang, menceritakan tentang nama gunung-gunung kecil di sisi jauh dusun Danan waktu itu.
Tentang sekolah-sekolah Kanisius tentu ada cerita elok, kalau tidak dikatakan heroik. Betapa tidak, mereka membangunbesarkan sekolah-sekolah di lokasi yang secara bisnis tidak masuk akal.Â