Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Natal, Menyambut "Matahari Tengah Malam"

24 Desember 2019   08:23 Diperbarui: 24 Desember 2019   09:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bengcumenggugat.com

Menyongsong "Matahari Tengah Malam". Midnight Sun. Nabi yang memperlakukan orang lain sebagai rembulan. Bermental komplemen bukan substitute. Orang lain diterimanya sbg pelengkap. Bukan matahari kembar. Pelopor infinite game not finite game. Selamat NATAL 2019. (J. Sumardianta) 

Bila Yosef bersikukuh menghendaki supaya harga dirinya tidak jatuh dan martabatnya tidak tercoreng, bisa saja Yosef nekad untuk tidak melanjutkan relasi dengan Maria. Tentu tidak mudah menerima situasi ini. Mereka masih bertunangan, tetapi Maria "tiba-tiba" mengandung. Bagaimana menerima situasi ini secara gamblang dan ringan hati? 

Ada kesamaan fase favorit yang sama antara dan saya dan Yosef, nampaknya. Yaitu: tidur. Dituliskan bahwa dalam tidurnya Yosef diperingatkan atau mendapat pengertian supaya bersedia supaya tetap menerima Maria. Bedanya Yosef sudah menerima pencerahan, dan saya masih melanjutkan tidur. 

Oh ya. Kembali ke awal tulisan ini. Siapakah Pak Sumar? 

Pak Sumar adalah guru di Kolese De Britto. Ada setidaknya tiga potongan fragmen menarik yang saya catat atas Pak Sumar. Pertama, saya diwawancara (salah satunya) oleh Pak Sumar sewaktu Daniel hendak masuk ke De Britto. Mestinya dengan Pak Yoko. Melihat saya, entah mengapa, saya dialihkan ke Pak Sumar. Tetapi fase pertama ini saya tidak bercerita tentang Pak Sumar. Tetapi tentang seorang Ibu yang merelakan waktunya "ngopeni" anak-anak. 

"Kalau di Gereja, saya memilih melakukan hal yang tidak banyak dilakukan. Menjadi volunteer di sini (De Britto). Kalau pengurus gereja kan sudah banyak yang terlibat," kata Ibu itu. Beliau pemilik toko musik di bilangan Malioboro. Memilih jalan yang tidak "ramai" untuk berkarya. Jalan yang "sepen dari publikasi dan wefi" tetapi terus berusaha memaknai. Kedua adalah pada waktu lomba nasi goreng di lapangan basket belakang. Beliau ramah menyapa kami. Mengajak mengobrol. Ini mungkin Pak Sumar sudah lupa. 

Tapi yang hendak saya ceritakan adalah juga bukan tentang Pak Sumar, hehehe. Saya hendak bercerita tentang Yosi, adik Daniel. Yang bersemangat ikut. Senang bisa di sekolah abangnya. Bangga. 

"Aku sekolah di sini saja ya pa. Tempat abang," katanya. 

"Tempat Abang" adalah bagaimana membahasakan komplementerisasi kakaknya atas dirinya. Ia bangga dan hendak bersama abangnya dalam banyak pengalaman. Abangnya adalah hal hebat bag Yosi. Hal pertama yang selalu ditanya bila masuk ke rumah. "Abang mana, Ma?" begitu selalu. 

Setelah abangnya studi di Malang dia selalu menunggu kepulangan abangnya. 

"Abang kok lama pulang sih, Pa?" kalimat sederhana yang selalu tidak mudah dijawab. 

Ketiga, Pak Sumar adalah komplemen bagi Daniel. 

"Mengapa ambil Sosiologi?" tanya kami. Hendak menyakinkan bahwa dia telah memilih dengan pertimbangan yang matang. Meski tidak semua dapat kami tangkap, tetapi agaknya Pak Sumar adalah tokoh penting bagi Daniel atas pilihan ini. 

Pak Sumar adalah guru Sosiologi di Kolese De Britto. 

"Putra-putra..." demikian Pak Sumar selalu mengawali narasi di ruang kelas. Daniel suka sekali dengan awal narasi ini. Ia adalah bagaimana "pintu komunikasi dibuka" dan dimulai dengan menempatkan anak-anak sebagai bagian penting dan subyek. Banyak cerita tentang Pak Sumar dari mulut Daniel. 

"Aku ambil Sosiologi, Pa" demikian kata Daniel suatu petang mengabarkan sebuah keputusan penting. Saya meyakini Daniel sudah berkeputusan secara hati-hati. Dan di belakang keputusan itu, Pak Sumar adalah sosok penting. Dalam nalar sederhana saya, tidak mungkin Daniel mengambil jurusan Sosiologi karena sosok guru Bahasa Inggris.

Tetapi apapun, Daniel sudah berproses dengan berusaha sedemikian rupa. Kami belum tahu bagaimana hasilnya kelak, tetapi kami sepakat mengawali dengan menjadikan Daniel sebagai subyek. Seperti bagaimana Pak Sumar selalu mengawali narasi ketika menempatkan diri sebagai komplemen bagi "putra-putranya".

Dan bukan memataharikan diri supaya menjadi sosok yang "wefiable" dengan memanggil mereka "anak-anak". Kata "anak-anak" seperti menempatkan mereka di depan dan tidak tinggi, "putra-putra" seperti menempatkan mereka lebih setara secara ketinggian. 

Kesadaran berusaha untuk menjadi komplemen bagai orang lain adalah tantangan pada saat ini. Ketika "berada sendirian di puncak" adalah harapan dari lebih banyak orang. 

Tetapi juga, membantu orang lain menggapai dan berada di "puncaknya" adalah juga pesan Natal dari Yesus. Yesus hadir hendak meneguhkuatkan banyak orang dalam situasinya yang tentu beragam. Dalam keadaan masing-masing. Yesus sudah tidak perlu berada di puncak. Ia ada di bawah dan menjadi pondasi bagi mereka yang hendak membangun "puncaknya" dengan kokoh. Tidak mudah tertiup angin, karena Yesus adalah Sang Batu Penjuru. 

"Datanglah kepadaKu kalian yang letih lesu dan berbeban berat," ajakNya sambil memperlakukan orang lain bak rembulan: menyejukkan dan menenangkan. 

Bermental komplemen tentu bukan hal mudah dan murah saat ini. Apalagi fase itu hanya dapat tercapai bila tidak mementingkan diri sendiri, sebuah hal sulit lainnya. 

Selamat Natal. Selamat menjadi komplemen! 

| Prambanan | 24 Desember 2019 | 06.50 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun