Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Pohon-pohon Kelapa di Rembang Petang

13 Desember 2019   20:32 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:44 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pepohonan kelapa. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

"Tuhan, apakah Natal tidak jadi datang pada malam ini?" tanyaku kepada Tuhan yang sedang menuangkan warna saga di langit barat
 
Dahan-dahan nyiur pelan bergerak, membawa rembang petang semakin dekat 
Hujan telah beranjak ke timur, meninggalkan langit barat di dekat pohon-pohon kelapa 
 
Natal biasanya memang datang pada hujan yang berhenti selepas maghrib 
Lalu lonceng-lonceng gereja didentangkan sehabis isya' 
Ketika asap ratus meninggi, lagu Kemuliaan dimadahkan  
Lalu lagu Malam Kudus didendangnyanyikan 

"Adakah lagu yang lebih sederhana dari syair Malam Kudus yang dinyanyikan?" tanyamu pada sebuah waktu 

Aku masih melihat Tuhan menuangkan lebih banyak warna saga 
Sebelum sambil menatap lembut mengganti warna saga dengan warna hitam, dan rembang meninggalkan petang 

"Kita nyalakan lilin ke depan gua Natal?" tanyamu lagi pada sebuah waktu yang sama, dulu 

Sebuah tetes air hujan kedua dari lubang bekas paku di atap asbes melayang pelan, mendekati renda kecil di ujung gaunmu, tepat ketika kalimat kamu akhiri tanpa tanda titik 

Entah dari mana malam datang dan Tuhan membawa pergi warna saga 
Petang sudah tidak lagi merembang 

"Ke selatanlah sebelum tanggal 25 Desember," katamu ketika warna saga sedang memendar indah tadi 

"Sebelum tanggal 25, Natal sudah akan memasuki rumahku di selatan. Aku sudah akan bersama dengan simbokku yang mengkhawatirkan banyak hal, lalu menjejalkan banyak cinta ke saku-saku kami yang sering hanya menyisakan sedikit cinta di akhir tahun," gelakmu yang selalu indah hadir pada 12 kata terakhir

Aku hanya mengingat tentang kepul asap dari ceret kecil bermulut panjang, lalu panas dituang ke mulut-mulut cangkir berdinding rendah

"Datanglah sebelum maghrib, kalau beruntung kita akan melihat sedikit bulan setelah hujan berlalu," lanjutmu dengan mata bersinar

"Begitukah Natal hadir kembali?" tanyaku sambil menangkap segaris sinar dari matamu
Sinar yang menembus banyak malam, ketika rembang petang sudah benar-benar berlalu

"Apakah kamu akan ke selatan?" tanyamu kembali

Ah, sepertinya kita memang hanya memiliki kalimat-kalimat tanya

| Kalasan | 13 Desember 2019 | 20.13 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun