"Tuhan, apakah Natal tidak jadi datang pada malam ini?" tanyaku kepada Tuhan yang sedang menuangkan warna saga di langit barat
Â
Dahan-dahan nyiur pelan bergerak, membawa rembang petang semakin dekatÂ
Hujan telah beranjak ke timur, meninggalkan langit barat di dekat pohon-pohon kelapaÂ
Â
Natal biasanya memang datang pada hujan yang berhenti selepas maghribÂ
Lalu lonceng-lonceng gereja didentangkan sehabis isya'Â
Ketika asap ratus meninggi, lagu Kemuliaan dimadahkan Â
Lalu lagu Malam Kudus didendangnyanyikanÂ
"Adakah lagu yang lebih sederhana dari syair Malam Kudus yang dinyanyikan?" tanyamu pada sebuah waktuÂ
Aku masih melihat Tuhan menuangkan lebih banyak warna sagaÂ
Sebelum sambil menatap lembut mengganti warna saga dengan warna hitam, dan rembang meninggalkan petangÂ
"Kita nyalakan lilin ke depan gua Natal?" tanyamu lagi pada sebuah waktu yang sama, duluÂ
Sebuah tetes air hujan kedua dari lubang bekas paku di atap asbes melayang pelan, mendekati renda kecil di ujung gaunmu, tepat ketika kalimat kamu akhiri tanpa tanda titikÂ
Entah dari mana malam datang dan Tuhan membawa pergi warna sagaÂ
Petang sudah tidak lagi merembangÂ
"Ke selatanlah sebelum tanggal 25 Desember," katamu ketika warna saga sedang memendar indah tadiÂ
"Sebelum tanggal 25, Natal sudah akan memasuki rumahku di selatan. Aku sudah akan bersama dengan simbokku yang mengkhawatirkan banyak hal, lalu menjejalkan banyak cinta ke saku-saku kami yang sering hanya menyisakan sedikit cinta di akhir tahun," gelakmu yang selalu indah hadir pada 12 kata terakhir
Aku hanya mengingat tentang kepul asap dari ceret kecil bermulut panjang, lalu panas dituang ke mulut-mulut cangkir berdinding rendah
"Datanglah sebelum maghrib, kalau beruntung kita akan melihat sedikit bulan setelah hujan berlalu," lanjutmu dengan mata bersinar
"Begitukah Natal hadir kembali?" tanyaku sambil menangkap segaris sinar dari matamu
Sinar yang menembus banyak malam, ketika rembang petang sudah benar-benar berlalu