Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepotong Es Krim untuk Anak Lelaki

19 November 2019   22:07 Diperbarui: 19 November 2019   22:04 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

/Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil
Tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku
Luas kebunku sehalaman 'kan kutanami buah dan sayuran
Dan di kandang belakang rumah kupelihara bermacam-macam piaraan
Aku pasti akan hidup tenang jauh
dari bising kota yang kering dan kejam
Aku akan turun berkebun mengerjakan sawah ladangku sendiri
Dan menuai padi yang kuning bernas dengan istri dan anakku
Memang cita-citaku sederhana sebab aku terlahir dari desa
Istriku harus cantik, lincah, dan gesit
Tapi ia juga harus cerdik dan pintar
Siapa tahu nanti aku 'kan terpilih jadi kepala desa
'Kan kubangkitkan semangat rakyatku dan kubangun desaku
Desaku pun pasti mengharap aku pulang
Aku pun rindu membasahi bumi dengan keringatku
Tapi semua itu hanyalah tergantung pada-Nya jua
Tapi aku merasa bangga setidak-tidaknya aku punya cita-cita
Tapi aku merasa bangga setidak-tidaknya aku punya cita-cita/

Di atas adalah lirik lagu "Cita-cita Kecil Si Anak Desa" karya Ebiet G. Ade.

Pertama, lagu-lagu Ebiet disukai oleh banyak penggemar syair dalam liris yang puitis dan cenderung "dalam". Meski kata "dalam" dapat menjadi relatif bagi setiap orang.

Kedalaman yang puitis sendiri juga relatif. Toh puitis tidak serta-merta karena pemilihan diksi yang selektif dan tidak banyak dipakai. Bisa saja diksi terangkai indah tetapi malah menjadi membosankan karena pesan yang hendak disampaikan tidak ada. Atau kalau pun ada maka itu sangat sedikit. Maka untaian diksi lalu menjadi hanya kata-kata yang mengkalimat.

Sisi positifnya, tidak ada aturan baku atas itu semua. Semua orang berhak menuliskan apa yang dipikirkan. Alamlah yang kemudian menentukan daur seleksi di mana untaian diksi lalu akan menentukan takdirnya sendiri. Entah bermuara di mana atau ke mana. Tetapi satu hal yang penting: menulislah!

Ketika dikatakan bahwa buah pikir seperti itu adalah hanya sebagai hal yang tidak riil maka saya boleh tidak setuju. Semua yang dilahirkan sebagai buah pikir adalah nyata. Nyata sendiri kiranya lalu menjadi seperti aset: tangible asset dan intangible asset. Tetapi keduanya adalah sama, yaitu aset. Meski bentuknya boleh berbeda. Kalau buah pikir tidak konkrit, maka tugas menulislah yang kemudian menjadikannya konkrit. Mungkin menjadi lebih dapat dipahami. Dan mungkin, tetap saja tidak dapat dipahami.

Ada sebagian yang menulis supaya semakin tidak mudah dipahami. Dengan kata yang sulit dan rumit. Disusuntuliskan sedemikian rupa. Saya sendiri memilih sebaliknya. Menulis dengan sederhana sebisa saya. Seperti kerumitan menulis adalah kekuatan, saya meyakini kesederhanaan menulis adalah kekuatan juga. Pada gilirannya, masing-masing mencoba merumuskan nasibnya sendiri tadi.

Kedua, dalam kesederhanaan penggambaran, kalimat-kalimat pada lagu itu justru menemukan mantra kekuatannya.
Pada sisi yang lain, tulisan yang menurut saya rumit juga merupakan konstruksi kekuatan. Pembacalah yang berhak menjatuhkan vonis tanpa ada gangguan dari pemilik hak prerogatif yang memang tidak ada eksistensinya. Jadi: menulislah tanpa khawatir.

Dalam pembicaraan yang sepintas terdengar dari sepasang suami-istri di toko waralaba, mereka berdiskusi untuk menawarkan es krim kepada anaknya. Mungkin es krim dapat tidak murah bagi mereka. Mungkin uang mereka terbatas. Toh kemudian sang ibu menawarkan kepada buah hatinya dengan suara merdu," Nak, ambillah es krim yang kamu mau."

Dalam banyak situasi, akhirnya cintalah yang menghidupkan banyak hal. Dalam kasus ayah-ibu-anak di atas, cintalah yang kemudian menggembirakan kebersamaan mereka. Bukan jumlah uang atau harga es krim.

Dalam menulis, meski sederhana seperti kebisaan saya, maka cinta menulislah yang menghadirkan kehangatan kemudian.

Dapat seperti belajar pada Sapardi Djoko Damono yang justru menemukan kekuatannya dalam kalimat sederhana: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Eh, tapi bisa jadi, menulis sederhana justru tidak sederhana. Sesulit menulis secara rumit.

| Halim | 18 November 2019 | 23.18 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun