Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Pada Minggu Keempat

13 November 2019   19:39 Diperbarui: 25 November 2019   01:01 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ah, tempatku sudah siang tadi diguyur hujan," katamu, saat kukabarkan aku melihat hujan sore ini

Hujan yang melewati tajuk-tajuk pohon dan datang dari ketinggian. Entah dari mana

Kamu merupa hujan yang datang dari ketinggian, meluncur turun melewati awan-awan gelap, lalu membersihkan daun-daun
Sebuah hal yang  tidak sia-sia, bahkan ketika perjalanan baru dimulai

Mencerahkan langit, membersihkan daun-daun lalu menjatuhkan diri ke tanah permukaan
Menggenang, lalu bersembunyi menggembursuburkan tanah

Menumbuhkan tunas-tunas jagung
Memanjangkan akar-akar kedelai

Kemana daun-daun jati kering pergi?
Menyatu dengan tanah-tanah basah
Menyuap akar-akar untuk menggemukkan dahan

Aku tahu sekarang, mengapa Natal selalu hadir di tepi hujan saat langit menjadi gelap: supaya cahaya lilin memendar ke setiap sudut ruang-ruang sempit

"Minggu keempat aku ke selatan," lanjutmu sambil melihat ke langit

Aku sering menjumpaimu di selatan
Memakai baju berwarna biru lembut, yang lengannya digulung ke bawah siku

"Hujan akan menyembunyikan jalan ke rumahku pada minggu keempat," gelakmu dengan lekuk rahang yang terlihat indah

Jalan ke selatan memang tidak akan terlihat pada minggu keempat, karena hanya jalan ke utara yang akan kujumpai
Pulang ke rumah berhalaman rumput, dengan teras yang tinggi

Kamu pastilah akan berada di ruang riuh pada minggu ke empat
Dengan cangkir-cangkir yang segera dituangpenuhi teh dan gula batu

"Apakah jalan ke selatan dapat kau temukan di antara hujan?" tanyamu dengan mata yang berkilat indah
Seperti hendak menawarkan gula-gula yang kau sembunyikan di belakang punggungmu yang indah

"Datanglah ke selatan kalau jalannya dapat kau temukan," godamu yang kedua
Seperti menampakkan sedikit gagang gula-gula lalu kau sembunyikan lagi

Aku menggelengkan kepala, dan menyimpan banyak senyum
Senyum adalah persembunyian terbaikku sambil terus melangkah tegap, entah sampai kapan

Mungkin sampai jalan ke rumahmu tidak disembunyikan hujan
Mungkin sampai ketika matahari sore menerpamu wajahmu kembali, saat kau bungkukkan rendah julang tubuhmu untuk meletakkan cangkir teh di balai bertikar pandan

"Akan kukatakan pada hujan supaya ia tidak menyembunyikan jalan ke rumahku," katamu dengan kalimat terakhir, sebelum kuselesaikan cecap kopi terakhir pada cangkir berpermukaan licin

"Aku akan menunggumu sambil menghirup aroma kopi," jawabku, akhirnya

Seperti embun yang menunggu giliran dibawa pergi oleh matahari

| Sleman | 13 November 2018 | 19.19 |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun