Tidak ada gula merah malam ini
Maka kopi kubiarkan tetap hitam
Hitam itu seperti malam yang gagah berdiri berjajar sepanjang lintasan kereta api
Hitam juga merupa kebaikan jiwa perempuan berambut gelung
Yang bergegas menghampiri pintu, menyambut-peluk dan mensyukuri sua: membiarkan semua hadir apa adanya
Kopi yang berasa hitam selalu membawaku lebih dekat pada banyak peristiwa pada perjalanan pulang
Bahwa kesendirian adalah hanya kehangatan sebuah ruang privat
Ketika, kemudian, perjalanan harus tetap dilanjutkan
Melewati jalan-jalan curam yang tidak diharapkan
Menyusuri keelokan yang tidak direncanakan
Atau sekedar melintasi daun-daun jati yang mengering, seperti pada suamu
Pastilah kamu telah jatuh tertidur di malam yang masih muda tadi, batinku menduga
Tidurlah, karena tidak ada lelap yang lebih indah selain bersama malam dan hitam
Sebentar aku juga mencari kantukku
Setelah diksi meninggi serupa gunung yang membangun bayangan malam, lalu ia menjadi hitam
Kalau beruntung, mungkin ada mimpi
Tentang ruang beratap tinggi dengan nyanyian halleluya
Tentang jalan ke selatan di dekat rendah dahan-dahan jati yang menanjak tinggi
Atau mungkin tentang keindahan yang tidak pernah terjadi di balik dinding-dinding malam yang pintunya tetap terbuka
"Aku dapat menemanimu ke selatan sore ini," katamu kemarin, tiba-tiba, ketika aku harus ke utara
Aku lalu lebih suka mengaduk kopi dengan gula merah
Membiarkan banyak gambaran menari di antara batang-batang pohon jati yang tidak menyisakan daun
"Tadi aku tertidur," katamu di awal dini tadi
Malam bagiku akan selalu hitam
Dan hitam adalah tentang malam
Seperti kopi tanpa gula merah yang tersisa di remang pagi
Banyak yang hendak kusampaikan sebetulnya
Tetapi tidak ada satupun yang dapat kujadikan kata
| Malang | 8 November 2019 | 04.25 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H