Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara "Sate Kere" dan "Gembus Susur"

16 Oktober 2019   09:13 Diperbarui: 16 Oktober 2019   09:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi, secara filosofis, "sate kere" maupun "gembus susur" adalah juga terobosan atas ketidakterikatan pada hal-hal fisik-material. Diajak untuk melampaui pengalaman bawah sadar (unconscious experiences) atas kenikmatan daging dan tahu. Freud menyakinkan bahwa yang mendominasi alam pikiran sejatinya adalah pengalaman-pengalaman bawah sadar.

Karena faktor-faktor degeneratif, fisik-fisik yang menua akhirnya juga harus berdamai dengan diri sendiri. Kabarnya, mantan Menteri Penerangan "Menurut Petunjuk Bapak Presiden" Harmoko harus hanya menikmati kembali telo-kimpul (ketela dan talas) karena faktor kesehatan. Tetapi saya tidak yakin beliau kenal "sate kere" atau "gembus susur".

Sebagai produk ikutan, "sate kere" tentu tidak akan melampaui sate daging. Seperti halnya tahu susur adalah produk ideal dari "gembus susur".

Maka kalau ada politikus yang untuk mencapai ambang batas keterpilihan lalu bagi-bagi uang, maka hakekatnya ia hanya menyajikan kualitas "leadership" yang tidak lebih bagus dari kualitas "sate kere" atau "gembus susur".

Artinya kalau ekspektasinya adalah sate daging dan atau tahu susur, maka "money politic" (baca: politikus culas, politikus busuk) menggantinya dengan "sate kere" dan atau "gembus susur".

Tetapi masalahnya menjadi berbeda kalau ekspektasinya memang hanya sebatas "sate kere" dan atau "gembus susur". Alih-alih sate daging dan atau tahu susur.

| Kalasan | 15 Oktober 2019 | 22.11 |

Koleksi Romadhon
Koleksi Romadhon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun