Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Filsuf Sir Didi Kempot

7 September 2019   22:12 Diperbarui: 9 September 2019   17:12 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sir Didi Kempot telah "mewolak-walik" suasana dan standarisasi tentang patah hati. Dan itu sudah banyak ditulis di sana-sini. Dari bahasan yang "ngilmiyah" sampai yang asal "othak-athik gathuk", dari yang berpendekatan standar-formal sampai yang "ruwet-jelimet-mekeket". Dari yang memberisebarkan pencerahan, sampai yang hanya penulisnya sendiri yang "mudeng".

Tapi dari banyak narasi, ada satu kesepakatan: dalam deskripsi Sir Didi, skema patah hati bisa dirumuskan di depan. Sebelum fakta datang menusuk, melukai dan meninggalkan dalam sepi seorang diri.

Tinggal pilih lagunya, dan nikmati suasananya. Mulai dari kembang tebu sampai gunung berapi purba. Dan banyak lagi.

Secara personal, Sir Didi jagoan mencermati dan mengangkat tema yang sangat sehari-hari. Lalu dipersonifikasikan dalam hal-hal yang juga sangat di sekitar hidup sehari-hari.

Kalau hanya mencaritemukan narasi yang "ndakik-ndakik" itu mudah ditemui, semudah menemukan uang receh. Tetapi memaknai yang sangat sehari-hari lalu menjadi seberharga berlian hanya dilakukan oleh sangat sedikit orang. Dalam tataran yang memang dibentuk secara khusus ada Dick Hartoko di masa lalu. Di masa kini ada Gabriel Possenti Sindhunata.

Tetapi Sir Didi memang berbeda. Deskripsi yang ugahari lalu digabungselaraskan dengan nada-nada yang sangat "daily": ringan, "easy listening" dan, itu tadi, menyayat hati. Perih. Mungkin seperti luka yang "dikeceri" jeruk nipis. Tak terkatakan dan tak terceritakan. Dan dialami oleh banyak orang dari segala lapisan.

Bagi saya pribadi, Sir Didi adalah seorang filsuf-praktisi. Seorang pemikir. Tetapi juga seorang praktisi. Gabungan dari olah pikir dan olah praktis itu adalah musik yang sangat "daily" tadi. Mudah menyentuh, mudah dinikmati. Musiknya menjadi personifikasi belarasa. Saking kerennya, para jomblowan-jomblowati seperti terfasilitasi menentukam skema patah hati yang akan dipilih. Kalau perlu patah hati dulu meski tidak melalui fase jatuh cinta.

Dalam aransemen tertentu, lagu-lagu Sir Didi dapat menjadi lebih "everlasting". Yang tidak suka jingkrak-jingkrak sambil menari dalam tawaran genre campur sari dapat menikmati juga dalam lantunan yang lebih "jazzy". Dua-duanya bisa dalam penderitaan yang sama: memasuki fase patah hati terlebih dahulu.

Kalau di depan namanya pendaftaran, kalau di belakang namanya penyesalan. Ini pameo menertawakan hal yang sudah dilewati tetapi tidak dapat diulang. Seperti dulu jatuh cinta tetapi tidak berani mengungkapkan, dan sekarang sudah terlampaui. Kerennya, hal ini tidak berlaku dalam pergulatan pemikiran sang filsuf Sir Didi. Break your heart first!

Mungkin ini seperti permenungan Bunda Teresa: cintai sampai tidak ada yang dapat melukaimu. Dalam kemasan yang berbeda tentu: patah hatilah terlebih dahulu sampai cinta tidak akan mampu membuatmu terpuruk kemudian.

Coba tengok syair lagu Banyu Langit:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun