"Siang tadi telah kulewati lorong yang melabirin," kabarmu dari sebuah sore di sebelah selatan, dekat dengan waktu yang sudah lama kutinggalkan. Lorong itu berujung pada dua sisi, lorong yang kita lewati dulu ketika pohon kelapa di sisi kolam masih setinggi tangga bambu. Dua sisi lorong yang sama-sama pernah kita pahami sebagai sisi dengan nama yang sama tetapi dalam pengertian yang berbeda. Bukankah kita lalu tersesat di tempat yang sama? Aku menunggu di ujung satu, dan kamu menunggu di ujung lorong lainnya. Dan sedikit waktu yang menjadi bagian kita lalu hilang lebih cepat. Menguap seperti embun di ujung rumput-rumput gajah sesaat setelah matahari meninggi.
Lorong itu lalu hanya menjadi sebuah penegasan bahwa arah, pertama-tama, adalah bukan kapan dan bagaimana kepergian akan dilakujalani tetapi ke mana arah akan dituju.
"Hahaha, tidak tersesat lagi kah?" tanyaku sambil terbahak. Mensyukuri bahwa kita pernah tersesat dalam waktu yang sama, di tempat yang sama dan dengan cara yang sama. "Tidak, aku tidak tersesat lagi," jawabmu dengan nada yang tersipu. Setelah ketersesatan itu, kamu lalu lebih sering tetiba menyelinap dalam ruang-ruang hening. Juga ketika asap-asap dupa melewati altar bertaplak putih dengan lilin yang menyala di sebelah kiri dan kanan. Mungkin karena langkah-langkah sejajar bergegas pernah kita satukan, hanya untuk mengejar supaya waktu tidak menguap secepat embun.
| Kalasan | 10 Agustus 2019 | 20.20 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H