Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Pagi Sewarna Emas

14 Juni 2019   10:40 Diperbarui: 14 Juni 2019   11:03 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi sewarna emas meriak bersama air laut
Mengayun-lentur di antara biru yang tertambat di dermaga pantai

Warnanya berkilau, seperti pengalaman-pengalaman yang hanya dapat dikagumi

Tidak, tidak akan ada yang berubah dari pengalaman yang selalu menghampar-ceritakan harapan yang memang tidak pernah berlalu begitu saja

Seperti juga tidak akan ada yang berubah dari setiap pagi yang selalu hanya menawarkan harapan

Bersama pagi, pengalaman juga sering terserak begitu saja seperti daun-daun yang gugur pada pergantian musim

Saat akar harus lebih mencengkeram tanah dan angin selatan bertiup lebih kuat ke utara
Menerbangkan harapan melewati bukit-bukit yang berjajar
Dan melampaui dataran yang membentang di mana bunga-bunga kecil akan selalu bertumbuh lagi saat malam datang, lalu mekar ketika pagi menjelang

Bunga-bunga kecil akan silih-berganti mekar
Dan harumnya hanya akan dapat disentuh oleh angin, harum bunga yang berwarna biru seperti air laut

Kemarin aku bercerita lagi padamu tentang kedai di tengah lebat Gunung Bagus
Dengan jalan yang begitu sepi, seperti untuk menyadari bahwa perjalanan memang hanya kulakukan seorang diri

Jangan terlalu malam, ya. Begitu pesanmu waktu itu ketika purnama sedang berhenti di atas rumahmu di dekat laut yang sedang berkilau memeluk cahaya bulan

Aku menyukai keheningan Gunung Bagus, setelah sebelumnya melintasi sinar matahari yang jatuh di lantai senyap

Keheningan Gunung Bagus hadir lagi di antara pagi yang berwarna keemasan
Juga kudengar lagi suaramu yang tertulis pada sebaris kalimat dan terasa seperti pagi yang hangat

Gunung Bagus memang sudah lama kutinggalkan dan aku sudah menyusuri banyak jalan lain yang lebih riuh dan padat
Tetapi pada pagi yang sewarna emas hari ini, aku hendak melintasi lagi kesenyapan Gunung Bagus

Mungkin di sana akan dapat kudengar lagi suaramu pada sebaris kalimat yang tidak sempat kau kirimkan padaku: Jangan terlalu malam,  ya

| Prambanan | 22 Maret 2018 | 19.08 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun