"Masih di barat, kah?" tanyamu selepas dzuhur, saat matahari terasa lebih menyengat
"Tidak. Aku sedang di utara, di ruang dengan cat berwarna biru," jawabku sambil melihat ke luar jendela berkaca sewarna es
Apakah kamu menungguku di barat, di tempat gedung-gedung tinggi menyembunyikan keindahan senja?
Aku tidak yakin dengan pertanyaan itu, pun jawabannya
Mestinya dulu kutanyakan apakah di barat kamu menungguku
Waktu telah jatuh dari ketinggian, menyisakan sebagian kepingan
Bagian yang lebih besar telah terlewati dan menyisakan angka dengan besaran dan letak yang hanya dapat diduga
Detik tetap terus merambat, dan menit mengumpulkan diri menjadi jam, dan hari menunggu setelah angka duabelas terlewati
Setelah jarum melewati angka empat, aku masih menyimpan tanya yang sama: apakah kamu menungguku?
Jawaban atas pertanyaan itu seperti menanti pelangi melintas di bawah langit yang lain: too good to be true
Setelah jarum melewati angka sembilan, aku menyukai pertanyaanmu dan tidak membutuhkan jawaban
Tetiba aku menjadi lega atas pertanyaanmu: mungkin kamu memang tidak pernah menungguku, karena langkah memang harus terus diayun
Dan kita masih dapat menunggu kemurahan hati waktu pada ketika-ketika yang pendek dan selintas saat
Aku memang sudah terlanjur menyukai pertanyaan-pertanyaan, untuk kubawa pergi, dan pada kemurahan waktu nanti, akan kutunjukkan pertanyaan yang tidak pernah kusampaikan kepadamu
| Posong | 11 Mei 2019 | 12.19 |
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI