Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Irisan Malam di Pasar Desa

12 April 2019   17:54 Diperbarui: 12 April 2019   19:03 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Andang Setiawan

Setelah tanjakan yang berbelok ke kiri, dan melewati los-los pedagang, bulan sabit harus melampaui pohon-pohon untuk menerangi tanah.

Melewati pelepah-pelepah kelapa dan ujung bunga kembang jati yang dibalut hitam.

Jalan akan menurun panjang sebelum berbelok di antara dahan-dahan yang rendah memanjang mendekati permukaan tanah.

Malam biasanya tidak akan berlangsung lama di sini.

Secepat kelebat mimpi yang menari indah, sekilas angin yang berhembus mengusap malam.

Ketika malam melarut, dan bulan semakin tinggi, dingin akan menemani duduk di balai-balai di sisi dekat.

"Tuangkan kopi dengan gula merah untukku," pintamu dengan tangan memeluk kedua kaki di sudut balai sebelah kiri dan dagu merapat ke atas lutut. Dan mata muram terus menyusuri malam.

"Apakah malam datang setelah siang?" tanyamu ketika kopi masih kutuang setengah cangkir.

Aku menyukai pertanyaanmu. Sudah lama aku mengagumi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seperti hendak menghentikan sebuah pagi di sisi sungai yang mengalir pelan.

Matamu beralih mengikuti kabut yang pelan berarak di sisi bukit di sebelah selatan.

Tepat di atas seruas jalan yang membujur indah, jalan yang tidak akan pernah kita susuri bahkan ketika pagi datang dan kicau burung memenuhi dahan-dahan pohon jati.

"Kopiku sudah dingin, ya?" tanyamu merupa jawaban untuk banyak pertanyaan.

Dalam sepotong misa di sore pada lusa hari, akan kutanyakan kepada Tuhan mengapa diciptakanNya malam dan dirimu.

| Jalan Kaliurang | 12 April 2019 | 17.36 |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun