Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nak, Dunia adalah Rimba Belantara

10 April 2019   21:13 Diperbarui: 11 April 2019   12:24 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tapak Dara. Dokpri.

Yosi, adik Daniel, berjalan mondar-mandir ketika abangnya mengikuti kegiatan sekolah selama sepekan tanpa alat komunikasi.

"Abang kapan pulang, Ma?" tanyanya selalu pada simboknya.

Pertanyaan itu adalah juga harapan simboknya. Kemudian kegiatan berakhir dan kami melihat Daniel pulang dengan wajah lelah dan bersemangat.

"Aku nggak biduran lho, Ma," katanya mewakili antusiasmenya. Padahal biduran adalah musuhnya ketika hawa mendingin. Tetapi perjalanan kaki di bawah hujan membangkitkan energi tersembunyi. Kekebalan tubuhnya berada di kondisi terbaik. Ia belajar mengatasi dirinya.
 
Di kelas 2 SD, Daniel mengalami perundungan. Pensil, penggaris dan banyak hal selalu hilang pada hari ketiga. Badannya mengurus. Tetapi tidak berani berkata bahwa ia tidak ingin sekolah. Semua menjadi normal ketika kami memindahkan ke sekolah lain.

Banyak hal terjadi di luar rumah. Sebagian tidak diharapkan terjadi. Sebagian mengkhawatirkan. Sisanya menakutkan. Meski sebagian besar membawa harapan.

Kualitas niat memusuhi pihak lain selalu meningkat. Termasuk kualitas tindakan. Seiring kemajuan teknologi. Seiring perubahan pola lingkungan yang terus menggulung-membesar seperti bola salju yang tidak kasat mata. Mengancam tetapi tidak dapat dibendung. Menakutkan tetapi tidak dapat dihindari. Semua terus terjadi dan begitu seterusnya.

Rasanya pantas untuk mengharapkan supaya pola didik di sekolah lebih menitikberatkan pada daya asah pengenalan diri pribadi, alih-alih terus melatih mereka berkompetisi. Jauh lebih penting mereka mampu menjadi bagian dari sesamanya. Bahwa kita semua adalah mahkluk sosial. Homo socius. Seberapapun hebatnya.

Kasus Audrey adalah ironi pendidikan. Sepertinya ada sebagian yang lebih cepat mengasah kukunya untuk melukai orang lain, daripada mengasah nalarnya. Itu semua terjadi ketika membaca referensi tindakan kejahatan semudah menggoyanggerakkan jari di atas layar monitor gawai.

Kita, orangtua, adalah pihak yang hanya bisa berharap bahwa hal buruk akan semakin sedikit terjadi. Mr. Big menuliskan sebagai bait lagu, bahwa banyak hal berubah menjadi semakin buruk.

Dengan terus mengulang basmalah, dengan banyak mengulang tanda salib, para orangtua meletakkan kekhawatirannya. Menumbuhsuburkan harapan baik bagi semua anak-anak.

Teriring segenap doa bagi Audrey.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun