Dari sisi budaya, beliau digempur sampai ke sisi ranah yang paling pribadi: kehormatan orang tuanya dan (sangat mengejutkan!) keagamaannya.
"Pak, Pak, Bapak," teriak anak laki-laki bernama Rafi Ahmad Fauzi, anak berkebutuhan khusus, yang sedang dalam gendongan, memanggil-manggil Jokowi.
"Sini," balas Pak Jokowi setelah mendengar panggilan itu. Berbalik dan melebarkan kedua tangannya untuk kemudian menggendong dengan cinta.
Dalam keadaan yang selalu penting, beliau masih menjadi pribadi yang ugahari. Tidak mudah menjadi pejabat publik setingkat presiden di negeri sebebas Indonesia. Semua dapat menjadi kekeliruan. Saya katakan bebas (dan bukan demokrasi) karena prasyarat berdemokrasi secara terhormat masih banyak yang belum dapat terpenuhi.
Berjalan maju dan naik ke atas sudah dipilih Pak Jokowi. Dan ini keren.
Seperti pensil, yang dipakai untuk menulis adalah selalu yang paling aus. Yang paling dapat tajam berkata dan rajin mengkritik adalah hanya pensil runcing yang tidak pernah dipakai untuk menulis jejak literasi bagi kebesaran bangsanya dengan kerja keras dan laku mencinta yang tidak pernah berhenti.
Itulah mengapa Jokowi adalah pilihan yang lebih layak. Bukan karena tanpa kelemahan, tetapi karena beliau sudah memberikan dirinya untuk Indonesia. Bukankah tidak ada cinta yang lebih besar daripada yang memberikan dirinya bagi orang lain?
| Prambanan | 9 Februari 2019 | 09.00 |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H