Terkait suap sabagai tindakan korupsi sudah bukan hal aneh. Di ranah olah raga sepakbola, para pengatur skor pertandingan adalah momok besar kompetisi di Indonesia. Maaf, seperti kentut katanya. Tercium baunya yang busuk, tetapi tidak pernah terlihat wujudnya.
Prinsip ekualitas di depan hukum tentu harus dimulai dari para aparat penegaknya. Menimpakan titik tumpu beban pelanggaran kepada para pemberi suap tentu sebuah kesalahan. Analogi para penjaga jembatan timbang yang menerima suap recehan dari para sopir truk yang melanggar bobot muatan rasanya pas.Â
Jalan tidak akan lebih cepat rusak bila bobot kendaraan terkendali. Bila para pemegang tongkat komando runduk terhadap recehan, maka niat mulia menjaga marwah martabat bangsa seperti tergilas oleh roda-roda truk yang sarat muatan dan melanggar kesepakatan bersama.
Nisan Salib yang Dipotong
Fakta pemotongan nisan salib di Yogyakarta beberapa waktu lalu juga menyentakkan kesadaran bersama. Menyentakkan keniscayaan keberagaman. Sahabat-sahabat Muslim yang saya jumpai tersentak. Saya sebagai pengaku umat Katolik juga tersentak. Kaget. Tidak mudah memahami.
Setidaknya ada tiga hal dari fakta di ini. Pertama, adalah pemahaman mayoritas dan minoritas. Kedua, penggunaan simbol keagamaan yang dilindungi oleh undang-undang. Ketiga, arti penting kehadiran dan keterlibatan negara dalam setiap sendi kehidupan bersama.
Mayoritas dan Minoritas
Dengan prinsip ekualitas di depan hukum, maka mayoritas dan minoritas adalah hanya penghitungan kuantitas untuk kepentingan data statistik. Dengan dijaminnya setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan kewajiban agamanya, semestinya mayoritas dan minoritas adalah hanya hitungan angka.
Pada gilirannya, kontribusi riil demi kemajuan bangsa adalah yang dipakai sebagai tolok ukur pengejawantahan nilai-nilai kebaikan. Pendidikan semakin baik. Kesehatan semakin meningkat. Kecukupan gizi semakin merata. Perumahan dan tempat tinggal semakin mendekati kelayakan sanisitas untuk kualitas hidup yang meninggi. Lalu adil makmur gemah ripah loh jinawi ada dalam jangkauan yang semakin dekat untuk teraih.
Dalam ranah politis, misalnya, bila nilai-nilai keagamaan masih hanya lebih banyak dipakai untuk kemasan pemasaran maka situasi ideal masih akan terus menjauh. Misi-misi yang nyata dan realistis semestinya terpaparkan dengan baik dan teraih dengan pengukuran.Â
Sejauh para calon anggota legislatif hanya menyuplik nilai ideal sebagai strategi marketing dan hal-hal mendasar yang tidak perlu diperbincangan (seperti: jujur dan kerja keras) masih menjadi tag-line andalan, maka keadaan yang lebih ideal masih hanya ada di ranah diskusi.Â
Adagium "bila agama dicampuradukkan dengan politik maka kebathilan mendapat kemasan terbaiknya" bisa jadi masih menjadi fakta yang tidak bisa diperdebatkan.