Dengan jumlah hanya sekitar 3% dari total jumlah penduduk, menjadi penganut Katolik di Indonesia itu sedap-sedap ngeri. Mengapa sedap-sedap ngeri? Karena lebih banyak sedapnya. Dan ada lebih sedikit ngerinya. Sedapnya adalah dikelilingi sahabat-sahabat Muslim yang baik hati. Entah apa jadinya tanpa kehadiran mereka. Ngerinya, tentu, beberapa fakta yang membawa pada ketidakberdayaan.
Merayakan Perbedaan
Setelah tinggal dan bekerja di Yogyakarta dalam sepuluh tahun terakhir, pengalaman menjadi minoritas saya terima dan saya maknai. Sewaktu bekerja di Jakarta pada sebuah korporasi dengan jumlah penganut Katolik yang lumayan banyak. Jadi frasa minoritas tidak cukup terasa.
Tetapi justru dengan menjadi minoritas dari sisi kuantitas, saya mengamini Islam sebagai berkah bagi semesta. Saya berinteraksi dengan sahabat-sahabat Muslim. Tertawa bersama mereka. Berbeda pendapat bersama mereka. Pergi ta'ziah bersama mereka. Pinjem uang ke mereka juga. Menikmati outbound bersama mereka. Kami tertawa dan, kadang, panik bersama-sama. Juga berjerih bersama.
Memang, seperti dalam lelucon manajemen, di mana pun selalu ada sebagian kecil yang menjadi pembawa persoalan. Troublemakers. Bikin gak nyaman. Bikin gemas. Kadang bikin naik pitam juga. Tapi itu hanya sedikit. Dan sedikit tidak pernah berarti banyak. Sedikit adalah sedikit. Memahami sedikit sebagai banyak juga bukan pilihan yang proposional. Mengeluhkan yang sedikit dan menafikan yang banyak tentu tidak seyogyanya.
Jangankan dalam kehidupan sosial, dalam keluarga yang lingkupnya lebih kecil saja selalu ada pembuat onar. Yang unik dari keluarga adalah pembuat onarnya dapat bergantian. Sebagian kecilnya selalu bergantian. Kadang ayah. Kadang ibu. Kadang kakak. Kadang adik. Kadang asisten rumah tangga. Kadang ayah dengan asisten rumah tangga. Eh, nggak lah. Yang terakhir ini cuma bercanda saja.
Para bijak-bestari tidak lelah berpesan. Ada orang yang datang sebagai berkat. Ada yang datang sebagai guru. Ada yang datang sebagai pembawa pendewasaan.Â
Dalam konteks ini, para pembawa persoalan dapat dikategorikan sebagai pembawa pendewasaan. Akan tetapi bila sudah kelewatan atau di luar batas, tentu dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal. Pada titik ini, negara harus hadir. Negara harus tampak. Negara harus mengambil peran yang tegas.
Ekualitas di Hadapan Hukum
Dari banyak cerita yang tersebar, hakim di Amerika ditakuti oleh para pelanggar aturan. Bila sudah berurusan dengan hakim, suara langkah sepatu mereka di ruang-ruang sidang yang berwibawa sudah dapat membuat nyali menjadi ciut.
Bagaimana dengan hakim di Indonesia?Â
Kabar memberitakan bahwa hakim yang berwibawa dan disegani sepertinya hanya itu-itu saja orangnya. Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan berhasil menangkap banyak hakim yang bermain mata dengan para pelanggar konstitusi. Biasanya terkait uang suap.