Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak-anak Mengambil Uang di Dompetku

20 November 2018   21:27 Diperbarui: 21 November 2018   02:09 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai kapan persisnya aku lupa. Tetapi sampai sekarang anak-anak masih selalu mengambil uang di dompetku. Tetapi itu salahku juga sebenarnya. Selama di rumah aku tidak pernah menyimpan dompetku. Dompetku kuletakkan begitu saja di meja sepulang kerja. Maka sejumlah uang dapat berkurang dari dompetku kapan saja. Sampai sekarang!

Pernah suatu kali aku pulang dari Jakarta dengan pesawat malam dan sampai rumah pukul 20.00. Seperti biasa mereka menyambutku. Lalu kami kisruh di ruang tengah.

Si kecil berebut dengan si besar untuk bercerita. Lalu mereka berseteru siapa yang akan lebih dulu menyampaikan cerita. Si kecil bersikukuh dan si besar belum juga mau mengalah. 

Kalau sudah situasi klimaks bergini, biasanya aku usulkan untuk bersuit kertas-batu-gunting. Daripada melihat si kecil menahan tangis karena ingin bercerita duluan.

Tapi ini juga tidak otomatis selesai. Perlu disepakati apakah si pemenang atau si kalah yang akan lebih dulu bercerita. Karena bersuit hanya mengasilkan pemenang dan pengalah, tetapi tidak otomatis sang pemenang yang akan memulai terlebih dahulu. Perlu dilihat konteksnya. 

Kalau yang dipersoalkan adalah hal menyenangkan, maka pemenang akan bersuka hati mengambil inisiatif. Kalau hal yang kurang menyenangkan, si kalah dapat dianggap lebih berhak untuk mengambil inisiatif.

Dalam konteks lain dapat seperti adu tendangan penalti pada pertandingan sepakbola. Siapa penendang pertama dapat menjadi hal yang dihindari karena beban psikologis yang harus ditanggung.

Konon, beban psikologis penendang penalti berada dalam skala 1% keahlian teknis menendang bola dan 99% adalah keberuntungan dalam mengatasi beban psikologis.

Maka pemain dunia sekelas Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi pada suatu kesempatan juga gagal mengeksekusi tendangan penalti. Dan seperti semua tahu, bukan mereka tidak memiliki kemampuan teknis. Siapa yang menyangsikan kemampuan mereka berdua?

Singkat cerita, sambil tiduran karena cukup merasa lelah saya mendengarkan mereka bercerita. Sampai kemudian lamat-lamat saya mendengar si kecil berkata, "Udah yuk bang, papa udah ngantuk tuh.."

Aku lalu tidak tahu kelanjutannya sampai kemudian terbangun sekitar pukul 00.30. Tidur seringkali begitu. Bukan lamanya merem, tetapi kualitas meremnya. Begitu kata para pakar. Badan lelah dan cerita anak-anak yang bersahutan seperti ramuan obat tidur yang pas takarannya. Sangat tepat membuat mata terpejam dengan segera. 

Oh ya, kami memiliki dua kursi besar yang terbuat dari bahan kayu yang memang sudah harus ditebang karena sudah terlalu tinggi dan tumbuh liar di dekat rumah tetangga di kampung. Setelah ditebang, kami sepakat membuat kursi besar dan panjang supaya bisa nyaman untuk tiduran.

Permukaan kursi yang rata dan keras sangat cocok untuk meletakrebahkan badan yang lelah. Kata pakar kesehatan, permukaan yang rata adalah tempat terbaik untuk tubuh.

Setelah duduk dan mengumpulkan kesadaran, lalu mulai melihat dan mengingat kiri kanan. Di mana tas ransel saya letakkan. Di mana dompet saya taruh, dan seterusnya.

Dompet lah yang membuat saya mulai cepat mencari ke sana dan ke mari. Biasa, di sana ada surat-surat penting. Tepatnya adalah kartu-kartu penting. Ada KTP. Ada SIM. Ada kartu ATM. Ada STNK. Dan, biasa, ada struk-struk penarikan uang di ATM yang membuat dompet terlihat lebih tebal. Anak-anak dan istri sudah terlelap.

Sudah mencari sementara waktu dan tidak kunjung ketemu, akhirnya kubangunkan istri sambil pelan bertanya apakah dompetku disimpannya. Entah karena kantuknya hilang atau mendengar kata "dompet", istriku kemudian terbangun. Ia lalu mengambilkan air putih yang kemudian kuminum.

"Mbok diingat, di mana tadi ditaruh. Terakhir bayar apa tadi?" katanya sambil menerima gelas yang kuangsurkan kembali.

Kubilang tadi terakhir adalah untuk membayar parkir di bandara, lalu dompet kumasukkan ke kantong celana. Sarannya kuikuti untuk menumpahkan seluruh isi tas ransel. Setelah di kantong celana tidak kutemukan dompet. Dan satu-satu kuurai. Malangnya, dompet tidak juga ditemukan. 

Setelah rembugan, kami bersepakat ke bandara Yogyakarta dini hari itu. Mengecek ke tempat parkir. Apa boleh buat. Mau bertanya ke anak-anak tetapi kasihan, mereka berdua sudah terlelap di kamar atas.

Singkatnya dompet tetap belum dapat ditemukan.

"Piye, Ma?" tanyaku.

"Lha, piye?" timpal istriku.

Lalu kusampaikan bahwa malam ini cukup dan kami pulang ke rumah. Que sera, sera. Yang akan terjadi besok. Dapat dipikirkan besok.

Pa, aku ambil seratus puluh ribu ya, kartu Trans Jogjaku perlu diisi. Pa, Yosi beli buku tulis ya. Pa, aku bayar uang LKS, ya. Pa, aku ambil uang jajan ya. Pa nanti aku les, tambah lima belas ribu ya. Pa, kembalian yang lima ribu sudah kumasukkan ke dompet lagi.

Begitulah, kalimat-kalimat itu sangat familiar di telinga. Bagaimana anak-anak menggunakan uang kami untuk keperluan tertentu. Tidak ada yang perlu dikonfirmasi ulang. Mereka mengambil sendiri uang dari dompetku.

Jawabanku selalu mengiyakan untuk hal-hal yang mereka sampaikan. Toh itu uang kami dan digunakan untuk kebutuhan kami. Sampai sekarang pun anak-anak masih mengambil sendiri uang dari dompetku.

Anak-anakku juga ok sejauh ini. Mereka tidak pernah mencuri uang secara sembunyi-sembunyi. Lha apa yang mau dicuri wong itu uang kami? Mosok mencuri uang sendiri? Kalau uang habis, ya kami juga yang harus menanggungnya.

Memang ada teori-teori tentang membantu anak untuk mandiri dan belajar mengelola uang sendiri. Tapi pengalaman kami sendiri telah menumbuhkan hal yang luar biasa dalam kebersamaan.

Bukan tidak menghargai teori-teori itu, tetapi  hal sederhana ini terlanjur membahagiakan kami. Nikmatnya kira-kira sama seperti bagaimana aku dan anakku yang besar bertukar baju atau kaos. Tanpa batasan. Tanpa sekat. 

Pengalaman ini juga telah membangun kebersamaan kami. Sebagai sebuah tim. Sebagai sebuah kebersatuan. Tidak melalui peraturan-peraturan yang rumit dan berbelit. Tetapi melalui pengalaman yang kami hidupi bersama. Kami jalani bersama. Saya kira tidak ada yang lebih hebat dari pengalaman yang dihidupi bersama.

Selain kebersamaan, kepercayaan juga kami bangun bersama. Tidak melalui pertanyaan investigatif yang menyelidik, tetapi melalui proses yang kami jalani bersama. Bersama kami memiliki dan berusaha menyadari tugas masing-masing. Dan bersama kami saling berbagi peran dan tanggung-jawab. Kemudian kami bertumbuh bersama dalam pengalaman-pengalaman itu. Meski kecil dan sederhana.

Beberapa bulan lalu, di biara Karmelit Purwakarta, tidak sengaja aku bercerita tentang hal ini pada seorang pastor. Dan sama sekali tidak kuduga bahwa beliau malah sangat tertarik mendengarnya dan mendesakku untuk bercerita lebih jauh. Maka sepanjang cerita malah mataku sesekali basah. It is really the greatness of simplicity. 

Paginya aku terbangun pukul delapan. Tidak lama anak-anakku bangun. Teringat tentang dompet itu lalu kutanya si kecil sambil memeluknya, "Nduk, lihat dompet papa po?"

Dengan mata yang masih sembab, Yosi, anak perempuanku itu, menjawab, "Itu tak masukin di laci meja belajarku. Papa ki piye to, naruh dompet kok sembarangan. Nek ilang, piye?" (Papa bagaimana sih. Taruh dompet kok teledor. Kalau hilang kan repot).

Seingatku, cukup lama aku memeluknya pagi itu.*

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun