Kelaziman yang tidak lazim, yang korupsi adalah orang pemerintahan. Karena mereka yang menjalankan proyek-proyek di mana uang dalam jumlah besar ada dalam pengelolaan mereka. Sampai pembuatan laporan pertanggungjawaban nanti.
Tentang pengadaan proyek di lingkungan pemerintahan seperti semua tahu masih banyak celah. Tatalaksana pengadaan juga cukup ketat tidak serta-merta mengurangi kecurangan pelaksanaan.
Tetapi atas kasus di Malang di mana 41 anggota perwakilan rakyat ditangkap KPK telah meruntuhkan secara total kelaziman yang tidak lazim itu. Anggota dewan perwakilan juga main mata. Beberapa memang niat, seperti Setya Novanto yang notabene adalah Ketua DPR RI.
Kasus di kota sekecil Malang itu juga menegaskan bahwa oposisi sejatinya tidak ada. Yang ada adalah kepentingan yang diakomodasi. Semua anggota dewan terlibat. Yang tidak terlibat konon adalah "hanya" karena sakit dan penggantian antar waktu.
Apakah konteks oposisi di Indonesia masih layak untuk dipercaya?
Saya kira yang ada bukan oposisi tetapi mau ikut berkuasa atau tidak ikut berkuasa.
Kalau dilihat dari asal partai, kasus malang dan kasus Malang itu adalah hanya sebuah penegasan: oposisi tidak ada bila definisi oposisi adalah perbedaan mendasar cara mengelola kebijakan untuk menyejahterakan rakyat.
Seorang teman akademisi di Malang sedemikian gusar atas kasus itu. Kemarahan sudah di tangannya. Persoalannya hanya karena ia seorang akademisi maka cara pengungkapannya dibatasi etika. Rasanya ia tidak bisa menuliskan kata "jancuk!" karena mahasiswanya pasti ada yang protes. Tetapi saya tahu betul ia sangat gusar dan sedih. Pun kata "jancuk!" sudah terlalu halus untuk memaki pada kasus ini sebenarnya.
Dewan yang semestinya mengawasi malah melakukan korupsi bersama-sama. Kredibilitas KPK dan penangkapan oleh KPK adalah dua serangkai penegasan bahwa kasus malang dan kasus di Malang itu adalah benar adanya. Dilakukan dan dapat dibuktikan.
Pada sisi yang lain, Ahok adalah sebuah fenomena di DKI Jakarta.
Mengapa saya membatasi di DKI Jakarta?