Mohon tunggu...
Adrian Diarto
Adrian Diarto Mohon Tunggu... Petani - orang kebanyakan

orang biasa. sangat bahagia menjadi bagian dari lansekap merbabu-merapi, dan tinggal di sebuah perdikan yang subur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di SMA De Britto Semua Siswa, Guru, dan Orang Tua Belajar Bersama

17 April 2018   23:09 Diperbarui: 18 April 2018   08:33 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku pakai motor hitam aja, Pa. Ini kan cuma sarana," kata Daniel Lintang. Dengan sadar Daniel memilih memakai motor hitam keluaran awal tahun 2000 daripada motor warna orange keluaran tahun 2016. Sepintas penyataan ini terkesan biasa saja. Tetapi bila sedikit ditelisik lebih jauh, maka Daniel hendak menyampaikan bahwa ia sedang belajar memahami bahwa sarana ditempatkan untuk mendukung pencapaian tujuan.

Don't Judge the Book by its Cover

Rambut Daniel yang dibiarkan gondrong sedikit menyamarkan bahwa ia masih kelas 11. Disamping berat badannya yang sudah mendekati angka 80 kilogram. Motor hitam dipakai dari rumah ke terminal Prambanan. Perjalanan ke sekolah kemudian disambunglanjutkan naik angkutan umum. Dengan tarif sebesar Rp1.800,00 untuk sekali perjalanan, biaya angkutan umum masih terjangkau. 

Dibandingkan dengan mengendarai sepeda motor dari rumah ke sekolah, naik angkutan umum serupa bus dapat lebih menjamin keselamatan. Seperti diketahui, kepadatan kendaraan bermotor di jalan raya dan pola kendara menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan berkendara. Memang diperlukan kesabaran lebih bila memakai angkutan umum karena waktu tempuh menjadi lebih lama.

Pertanyaan tentang di mana letak kampusnya sudah sering diterimanya. Banyak yang menduga ia sudah duduk di bangku kuliah dalam penampilannya saat ini. 

Rambut gondrong, pakaian bebas dan sepatu sandal memang sudah sejak lama menjadi ciri khas dari SMA Kolose Johannes De Britto. Sekolah yang diselenggarakan oleh para selibater dari ordo Serikat Jesus. Dalam penyelenggaraan pendidikannya ada penekanan lebih pada pengenalan dan pegembangan kepribadian serta rasa tanggung-jawab.

Siswa sebagai Subyek Pembelajaran

Kepala Sekolah Ag.Prih Adiartanto dalam beberapa kesempatan menyampaikan bahwa pada usia di tingkat SLTA adalah usia untuk mempertimbangkan banyak hal. Tentang pilihan studi di masa mendatang. Tentang pilihan karir. Atau tentang pilihan-pilihan lain terkait masa depan.

Fase ini dapat menjadi fase kritis mengingat usia SLTA juga adalah masa pubertas. Secara etimologis, pubertas berasal dari bahasa Latin yang berarti usia kedewasaan. Kata ini lebih mengindikasikan pada perubahan fisik (daripada perilaku) yang terjadi ketika individu secara seksual menjadi matang dan memiliki kemapuan untuk dapat memberikan keturunan. Masa pubertas ini sering disebut sebagai masa sulit karena individu memasuki tahap baru dalam kehidupannya. 

Merujuk pada urgensi dalam memetakan pengenalan diri, masa depan dan terjadinya perubahan-perubahan fisik yang signifikan, siswa pada tingkat SLTA sudah sepatutnya mendapat perhatian yang lebih intens dari pihak terkait. Setidaknya ada dua pihak yang terkait, yaitu sekolah dan orangtua.

Sekolah secara lebih sempit dapat diwakili oleh para guru yang berperan membantu, mendukung dan banyak memberikan sharing peneguhan atas pilihan-pilihan yang ada. Sementara orangtua memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan bagi keberhasilan siswa melampaui masa yang sangat kompleks di jenjang SLTA.

Belajar bersama dari Ignatius Loyola

Ada setidaknya tiga program leadership yang wajib diikuti oleh siswa. Pada Kelas X siswa mengikuti program perigrinasi. Yaitu perjalanan menempuh sejauh jarak tertentu secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam program yang diikuti oleh Daniel Lintang, ia berjalan kaki dari kota Yogyakarta ke kota Wonosari, sejauh kira-kira 40 kilometer. 

Dalam kelompok kecil yang menjadi tim perjalanan, mereka belajar untuk mampu menjadi bagian dari orang lain dan bersama orang lain dalam mencapai tujuan bersama. Ini adalah semacam jarak pemanasan bila dibandingkan oleh para selibater Jesuit dalam menempuh program pemurnian dan peneguhan pilihan sebagai imam atau pastor. Para calon romo (frater) dapat menempuh jarak sampai dengan 450 kilometer dengan berjalan kaki dan dengan fasilitas yang terbatas.

Di kelas XI, para siswa mengikuti program live-in di keluarga dengan kondisi tertentu. Pada pengalaman Daniel Lintang, ia tinggal dan bekerja di keluarga pengupas kerang hijau di daerah pasang-surut di Muara Karang, Jakarta. Daniel sempat bercerita bahwa kakinya sudah hampir kram karena duduk selama lebih dari dua jam di bangku kayu kecil untuk mengupas kerang hijau. 

Pada kelas XII nanti, Daniel akan mengikuti program magang di bidang sesuai yang diminatinya. Dalam usaha membantu memahami dinamika kehidupan, siswa diajak untuk menyadari bahwa pilihan-pilihan harus diambil secara bebas dan bertanggung-jawab. Pertama untuk dirinya sendiri. Dan, kedua untuk masyarakat. Pada gilirannya kedua pilihan itu adalah sebuah rangkuman usaha yang dipersembahkan kepada Tuhan.

Secara lebih jauh, siswa diajak untuk menyadari bahwa mereka adalah bagian dari dunia di mana mereka berada dan bersatu dengan semua keriuhan dinamika yang terjadi.

Irisan Siswa-Guru-Orangtua

Seluruh proses pembelajaran tentu tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada siswa dengan melahap semua kurikulum yang diberikan melalui para guru, di satu sisi. Pada sisi yang lain, orangtua juga diharapkan untuk tidak sekedar memberikan faslitas tanpa keterlibatan yang lebih intens pada proses pembelajaran itu sendiri.

Irisan di mana siswa-guru-orangtua bersinggungan dipetakan dan diwadahi dalam program Spiritualitas Igantian for Parents. Selama sepuluh sesi pertemuan untuk sekali sesi dalam sebulan, orangtua diajak oleh para Jesuit untuk juga memahami tahapan-tahapan pembelajaran yang ditempuhalami oleh para siswa.

Irisan siswa-guru-orangtua sepertinya adalah bagian kritis lain yang seyogyanya digarap secara lebih intens dalam tahap penyelenggaraan pendidikan di tingkat SLTA. Dengan perhatian yang lebih intens pada irisan siswa-guru-orangtua dapat diharapkan akan meminimalisir dampak negatif dari masa transisi siswa dimana banyak peristiwa baru yang dialami dan tanggung-jawab besar atas pilihan-pilihan bagi masa depannya. 

Secara ideal siswa memang diharapkan akan bertumbuh dan menjadi pribadi yang utuh. The whole person.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun